Pengertian Qurban adalah; Tentang Hari Raya Idul Adha

Pengertian Qurban adalah; Tentang Hari Raya Idul Adha

Siapa yang tidak mengenal tradisi berqurban saat hari raya tiba? Pengertian Qurban adalah tradisi yang lahir dari rahim Islam untuk menggambarkan realita sejarah jauh sebelum zaman Nabi Muhammad saw. Lebih tepatnya zaman Nabi Ibrahim As. Keberadaan Islam yang menjadi ajaran rahmatan lilalamin, mengajarkan kita untuk memuliakan sesama manusia. Di antara simbol-simbol ajaran tersebut adalah dengan cara bersedekah.

Salah satu cara bersedekah yang banyak dilakukan oleh orang-orang muslim saat hari raya idhul adha adalah dengan menyembelih hewan qurban. Yang mana dari hasil menyembelih ini akan dibagi-bagikan kepada orang-orang di sekitar kita. banyak sekali orang yang memberikan intepretasi terhadap tradisi yang satu ini. Ada yang mengartikan berqurban adalah sebagai simbol pengorbanan dan ketaatan kita kepada Allah Swt, ada pula yang mengartikan bahwa dengan berqurban berarti kita telah memiliki tabungan akhirat berupa sadaqah.

Sebenarnya kedua intepretasi ini tidak jauh berbeda. Jika dilihat dari sejarah munculnya tradisi ini, sudah barang tentu pemaknaan yang pertama benar adanya. Yaitu sejarah yang menjelaskan bagaimana seorang Nabi yang notabenya adalah manusia biasa mampu mencapai level kepasrahan tidak terbatas. Hal ini dijelaskan di dalam al-Quran surat as-Shaffat ayat 102 yang berbunyi:

فلما بلغ معه السعي قال يابني إني أرى في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترى. قال يا أبت افعل ما تؤمر  ستجدني إنشاء الله من الصابرين()

Dari ayat di atas bisa kita lihat bahwa Nabi Ibrahim telah menerima wahyu melalui mimpi atau yang disebut sebagi ruyah fi al-Manam. Wahyu ini berupa perintah dari Allah Swt. untuk mengorbankan anak kandungnya sendiri yang selama ini didamba bertahun-tahun. Namun karena bentuk taat dan pasrahnya kepada Tuhan, ia mencoba untuk patuh, selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Begitupun yang dilakukan Nabi Ismail saat ayahandanya mencoba memberi pengertian tentang mimpi yang ia terima. Tidak seperti manusia pada umumnya, karena derajat yang sudah diberikan Allah kepadanya, ia sama sekali tidak bergeming dan bertekad untuk melaksanakan apa yang sudah diwahyukan.[1]

Setelah hendak menyembelih, Allah yang maha pemberi rahmat menggagalkan usaha tersebut dan meminta Ibrahim mengganti anaknya dengan seekor kambing. Bukan bahagia yang ia rasakan, tapi justeru sebaliknya. Ia merasa gagal menjalankan apa yang diperintahkan. Naluri ini sejatinya tidak mungkin dirasakan oleh manusia biasa. Siapa yang mau mengorbankan anak kandungnya walau itu atas nama agama? nyatanya agama Islam selalu mengagungkan setiap nyawa manusia dan mengharamkan darahnya. Oleh sebab itu tradisi ini dianggap sebagai mukjizat Nabi Ibrahim dan Ismail yang telah mampu melalui ujian dari Allah Swt.

Pengertian Qurban adalah

Seperti yang dikatakan Imam Maturudzi dalam tafsirnya al-Musamma bi tawilat ahli as-Sunnah, bahwa simbol yang diinginkan Allah melalui kejadian ini adalah bentuk mujahadatu an-Nafs. Karena berkorban dengan jiwanya sendiri atau sebagian dari jiwa kita akan lebih memberikan rasa sakit. Mujahadah ini terkadang juga datang dalam bentuk yang wajar seperti sholat malam dan berdzikir. Namun, ada juga yang diluar kewajaran seperti menyembelih dan mengalirkan darah. Karena dengan masyaqqah yang dirasakan saat menjalankannya menjadikan manusia semakin dekat dan mendapat belas kasih dari Allah Swt.[2]

Adapun intepretasi kedua yang mengatakan bahwa tradisi berqurban adalah simbol kepedulian Islam kepada sesama manusia dan ajakan untuk saling memuliakan bisa dibenarkan jika kita lihat dari kata mata fikih. Artinya bahwa Allah sendiri melalui syriat Nabi Muhammad Saw. telah mengajak manusia untuk sholat dan berqurban. Seperti yang tertuang dalam firman Allah surat Al-Kautsar ayat 2 yag berbunyi:

فصل ربك وانحر()

Dari ayat di atas bisa kita lihat bahwa Allah telah menyerukan perintah untuk shalat dan diikuti dengan berkurban. Beberapa ulama tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata shalli. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut bermakna khusyu, tawadhu dan dua yang kemudian disandingkan dengan perintah menyembelih. Lalu apakah kemudian berqurban menjadi wajib seperti perintah shalat? Karena dalam ilmu ushul jika  ayat datang dengan shighat perintah maka itu artinya harus dilakukan dan yang meninggalakan akan mendapat dosa.

Ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa bentuk kata perintah ini bukanlah perintah secara hakiki, melainkan memiliki makna seandainya kamu melakukan shalat dan berqurban, maka lakukankan karena Allah. Karena kita tahu bahwa dulu banyak sekali bangsa arab yang menyembah dan berqurban demi berhala yang mereka sembah.[3]

Yang mana kata nahr sendiri memiliki arti menyembelih hewan secara umum.[4] Beberapa ulama  tafsir seperti Qatadah, Atha bin rabah dan Ikrimah bersepakat bahwa yang dimaksud menyembelih dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan qurban saat hari raya idul adha.[5]

Sehingga kalau boleh kita simpulkan, hukum menyembelih hewan qurban di hari raya sendiri adalah sunnah muakkadah berdasarkan pemaknaan yang diberikan kepada kata perintah di atas.[6] Dikuatkan lagi dengan habis nabi  yang menjelaskan bahwa siapapun yang menyembelih sebelum shalat (berarti bukan berqurban) maka ia  hanya menyembelih untuk dirinya sendiri. Tapi barang siapa yang menyembelih hewan setelah shalat idul adha (yang berarti berqurban) maka telah sempurnalah ibadahnya.

عن أنس بن مالك (َض) قال: قال النبي (ص): من ذبح قبل الصلاة فإنما ذبح لنفسه ومن ذبح بعد ال الصلاة  فقد تم نسكه وأصاب سنة المسلمين

Hadis ini menjelaskan bahwa umat muslim tidak wajib berqurban, barang saiapa mau melakukannya, maka ibadahnya akan menjadi sempurna. Hukum ini dijelaskan juga dalam kitab fiqh as-sunnah bahwa berqurban di hari raya lebih uatama dari pada bersedekah. Atau bisa dikatakan bahwa berqurban adalah cara bersedekah yang paling utama karena bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt.[7]

 

[1] Lihat tafsir Thabari surat Al-Imran ayat 46-70, Abi Jafar  Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jamiul Bayan fi Tafsiri al-Quran, markaz al-buhuts ad-dirasat al-arabiah al-islamiyah, hal. 579-583, jild XI.

[2] Abi al-Manshur Muhammad Al-Maturidi, Tafsir al-Quran al-Musamma bi tawilati ahli as-Sunnah, muassasah risalah nasyirun, hal.527, Vol. V

[3] Ibid.,

[4] Al-Wajiz , hal. 405

[5] Tasirul Allaam, 534 Taudhihul Ahkam, jild. IV, 450.

[6] Abi al-Manshur Muhammad Al-Maturidi, Op.cit.

[7] Lihat shahih fiqh as-Sunnah, jild. II, hal. 329

Gambar Gravatar
Website Dakwah Muslimah Menerima Tulisan Dakwah Baik Fiksi maupun Non Fiksi  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *