Biografi Ali bin Abi Thalib

Biografi Ali bin Abi Thalib

Sahabat Kartun Muslimah, ada yang meriwayatkan bahwa nama Ali pada awalnya adalah Haidar bin Abi Thalib, namun Rasulullah menyukai dengan sebutan Ali ketimbang Haidar. Nama Haidar adalah nama pemberian ibunya, yang berarti ‘singa’. Hal tersebut menyerupai nama kakeknya [dari jalur ibunya] yang bernama Asad yang juga berarti singa.

Beliau lahir pada  tahun kesepuluh sebelum kenabian Muhammad, itu artinya Ali bin Abi Thalib lahir sekitar tahun 601 Masehi. Beliau lahir di Makkah dari kalangan Bani Hasyim suku Quraisy terkemuka. Beliau adalah anak bungsu dari enam saudara. Ayahnya bernama Abu Thalib bin Abdul Muthalib, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Asad.

Pada usia 10 tahun dia sudah berdakwah bersama sejarah Nabi Muhammad. Dia terkenal cerdas, dengan kecerdasannya, dia dijuluki dengan babul ‘ilmi (pintu ilmu). Dan dia sangat pandai dalam memainkan segala jenis senjata, terutama pedangnya yang dzulfikar yang banyak digunakan dalam memerangi kaum kafir.

Ali termasuk sahabat yang pertama masuk Islam [assabiqunal awwalun] dari kalangan anak-anak. Ali adalah sepupu Rasulullah sebab Abi Thalib adalah saudara Abdullah [ayah Nabi Muhammad]. Selain sebagai sepupu, Ali juga merupakan menantu Rasulullah, sebab Ali menikahi puteri Rasulullah yang bernama Fatimah.

Ali menikahi Fatimah pada usianya yang 21 tahun sedangkan umur Fatimah kala itu sekitar 15 tahun. Keluarga muda itu kemudian mengarungi hidup dengan penuh kasih sayang dan penuh keharmonisan. Buah dari pernikahannya melahirkan Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, keduanya adalah cucu kesayangan Rasulullah.

Sejak kecil Ali bin Abi Thalib sudah bergaul dengan Rasulullah walau pun pada saat itu Rasulullah sudah menikah dengan Khadijah Ra. Setiap harinya Ali bersama Rasulullah dan menghabiskan waktu anak-anak pun juga ditemani Rasulullah, bahkan Ali diasuh oleh Rasulullah pula.

Pada usianya yang masih anak-anak kala itu di Arab terjadi musim paceklik, masa-masa kekurangan bahan makanan, dan masa-masa sulit untuk dihadapi bagi keluarga yang berekonomi lemah. Dan keluarga Abu Thalib termasuk keluarga yang berekonomi lemah. Selain usia Abu Thalib yang semakin sepuh dan tanggungan hidup anak-anaknya yang harus dipenuhi, namun Rasulullah tetap ingat akan jasa-jasa Abu Thalib yang telah berjasa dalam membesarkan dan merawat dirinya.

Oleh karenanya, Rasulullah berunding dengan salah satu pamannya yang kaya raya yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib utnuk bisa membantu beban Abu Thalib yang notabene pamannya juga. Setelah terjadi kesepakatan dengan Abbas, maka terjadilah kesepakatan bahwa anak-anak Abu Thalib akan diasuh oleh Abbas dan Rasulullah.

Ja’far bin Abu Thalib akan diasuh oleh Abbas sedangkan Ali bin Abi Thalib akan diasuh oleg Rasulullah. Saat itulah Ali menjadi anak asuh dari Rasulullah walaupun kala itu Rasulullah sudah menikah dengan Khatijah dan memasuki masa pernikahannya yang sudah berjalan empat tahun.

Di tangan Rasulullah lah Ali dididik dengan sangat baik, kecerdasan dan keahlian dalam memainkan segala jenis senjatanya semakin terasah. Dan sejak kecil pula Ali sudah berada dibawah bimbingan wahyu, sehingga dia selalu mendapatkan pencerahan dalam hidupnya.

Ali terkenal dengan keberaniannya dalam berbuat yang hak dan melarang kebathilan. Dia tak pernah merasa gentar ketika musuh mengajaknya berhadapan duel sekalipun. Salah satu keberaniannya ditunjukkan tatkala Rasulullah akan hijrah ke Madinah, maka Ali yang menggantikan Rasulullah ditempat tidur, padahal perbuatan tersebut sangat berisiko sebab orang-orang kafir bisa saja langsung menikamnya sebab dikira Rasulullah yang sedang tidur.

Namun, Ali dengan sangat tenang tak pernah takut mengambil resiko tersebut. Malah dengan senang hati, Ali lah yang meminta langsung untuk menggantikan diri Rasulullah dengan dirinya sendiri. Padahal usia beliau masih terglong sangat muda.

Demikian pula keberanian dan kegagahan Ali bin Abi Thalib terlihat ketika dia mengikuti perang-perang besar dalam Islam, perang Badar, perang Uhud, dan perang Khandaq, dan perang Khaibar semua dijalaninya denga penuh semangat jihad.

Bahkan di saat perang Khandaq misalnya, dikala orang kafir mengutus Amr bin Abdul Wud menyatakan untuk perang tanding duel, berdua. Maka saat itu Ali segera menerobos barisan kaum muslim dan maju ke depan untuk berhadapan dengan Amr. Kehebatan Ali dalam berperang sekarang akan dibuktikan. Hanya membutuhkan beberapa ayunan pedangnya, maka ditebaslah kepala Amr dengan sangat mudah oleh Ali.

Setelah kepala Amr gugur, maka Ali mempersilahkan kepada orang kafir untuk maju siapa giliran berikutnya. Maka, orang-orang kafir marasa gemetar mendengar tantangan Ali tersebut, sehingga tak ada seorang pun orang kafir yang berani maju berduel dengan Ali bin Abi Thalib.

Selain terkenal dengan ketangguhan dan keberaniannya, Ali juga terkenal dengan kecerdasannya. Bahkan oleh Rasulullah dalam salah satu sabdanya menyebutkan bahwa “Aku adalah gudangnya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.” Ya, Ali disebut oleh Rasulullah dengan babul ‘ilmi yang artinya pintu ilmu. Hal itu menunjukkan saking cerdasnya Ali.

Ali juga merupakan seorang sahabat yang bisa membaca dan menulis dengan baik. Bahkan wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maka Ali juga banyak yang berperan dalam mencatatnya. Digoresan pena Ali itulah firman-firman Allah banyak diabadikan dan pada akhirnya dikumpulkan saat pemerintahan Usman bin Affan untuk dibubukan menjadi mushaf Usmani.

Setelah Rasulullah wafat, maka terjadi perdebatan dalam internal kaum muslim siapa yang akan menjadi pengganti Rasulullah. Bagi orang-orang Syi’ah, yang pantas menggantikan Rasulullah dalam masalah kepemimpinan politik ialah Ali bin Abi Thalib sebba dia adalah keluarga Ahlul Bait yang sudah mendapat didikan secara langsung dari Rasulullah sejak kecil.

Namun disaat rapat berlangsung, Ali tidak hadir dalam keputusan siapa yang akan menjadi pengganti Rasulullah. Sebab Ali masih disibukkan untuk mengurus jenazah Rasulullah. Dan ketika dalam keputusan rapat terpilih Abu Bakar, maka Ali dengan lapang hati menerima keputusan tersebut meskipun beliau masuk dalam daftar pencalonan yang diajukan dalam rapat.

Demikian pula saat rapat pengangkatan khalifah ketiga, Ali lagi-lagi digadang-gadang menjadi calon pemimpin yang akan menjadi khalifah. Namun, keputusan berpihak kepada Usman bin Affan, dan dengan lapang dada Ali menerima keputusan mayoritas umat Islam itu. Itulah sifat Ali bin Abi Thalib yang tak pernha merasa dendam kepada siapapun dan tak pernah menlak jika hal tersebut telah menjadi kesepakatan bersama.

Namun, setelah terbunuhnya Usman, maka semua Umat Islam mendesak Ali agar segera bangkit menjadi khalifah berikutnya [kalhifah keempat]. Dan beliau pun menyetujui sebab tidak ada perselisihan didalamnya.

Ali harus mampu menjadi pemimpin disaat gejolak politik sedang panas-panasnya dengan banyaknya kalangan pemberontak. Dan Ali harus menindaklanjuti serta mengadili siapa sebenarnya otak pembunuhan dari Usman bin Affan.

Fitnah dan adu domba bertebaran dimana-mana, sehingga keadaan semakin memanas. Ali memerintah [selama 6 tahun] dalam kondisi politik yang memang tidak stabil. Hingga suatu saat Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam saat beliau mengimami shalat subuh.

Beliau wafat dalam usianya yang 63 tahun yang dibunuh oleh seorang Khawarij [pemberontak] di masjid Kufah pada tanggal 19 Ramadhan saat sholat subuh. Selama dua hari Ali skarat dengan tikaman pedang bin Muljam dan kemudian beliau menghembuskan nafas terakhirnya setelah dua hari kemudian. Dan pada saat itulah masa khulafah Ar-Rasyidin berakhir.

Gambar Gravatar
Website Dakwah Muslimah Menerima Tulisan Dakwah Baik Fiksi maupun Non Fiksi  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *