Allah disifati dengan sifat yang mulia, tiada sifat cacat atau kekurangan terhadap-Nya. Oleh karenanya mentauhidkan Allah melalui asma wa sifah-Nya merupakan salah satu jalan bagi seorang muslim untuk mengenal diri-Nya. Dengan demikian pula, dengan mengenal sifat-sifat Allah yang Maha Agung memiliki kedudukandan arti penting dalam beragama.
Namun, sahabat Kartun Muslimah perlu ingatkan kembali bahwa mengenal asma wa sifah Allah bukanlah untuk mencari kayfiah tentang bagaimana bentuk dan Dzat Allah, sebab pengetahuan tersebut tidak dimiliki oleh manusia, manusia tidak dapat enjangkaunya dikarenakan terdapat hijab pemisah yang manusia diciptakan lemah atas hal tersebut.
Salah satu sifat Allah diantara dua puluh sifat yang Dia sandang ialah sifat qudrat yang artinya Allah Maha Berkuasa. Kuasa Allah meliputi segala hal, dengan sifat itulah Allah mewujudkan atau meniadakan segala sesuatu yang dikehendaki, begitu pula Allah melenyapkan apa saja berdasar kehendak-Nya.
Kuasa Allah
Sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan:
“Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” [Al-Baqarah: 20].
Demikian pula dengan ayat lainnya:
Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah. [Al-Fathir: 16-17].
Berbicara tentang sifat qudrat Allah, maka hal ini sebenarnya telah menjadi pembahasan yang sering dikaji dalam ilmu kalam. Ada banyak pandangan mengenai sifat qudrat Allah. ada diantara mereka yang memandang bahwa kuasa Allah itu mutlak sebagaimana pandangan Asy’ariyah, namun ada yang berpandangan bahwa ada pembatasan atas kuasa Allah sebagaimana pandangan kaum Mu’tazilah.
Kelompok Asy’ariyah berpandangan bahwa kuasa [qudrat] Allah bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan atas kekuasaan-Nya. Dia lah Dzat yang wajib mengadakan dan meniadakan. Maka tidak dapat diragukan lagi bahwa Allah berkuasa secara mutlak atas semua yang dia kehendaki. Sebagaimana yang telah sesuai dengan penjelasan Al-Quran yang disebutkan diatas.
Dan banyak sekali dalam Al-Quran yang secara implisit dan eksplisit menyebutkan bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dengan sangat mudah, dia hanya berucap “Jadilah” maka hal itu pasti akan terjadi.
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah ia.” [Al-Baqarah: 117].
Namun demikian, ada pula pandangan kaum Mu’tazilah yang membatasi atas kekuasaan Allah. Perbedaan pandangan ini sebenarnya terletak sebagai akibat pemosisian peran akal, fungsi wahyu, dan kebebasan serta kuasa manusia atas kehendak dan perbuatannya.
Mu’tazilah sendiri memberikan ruang besar atas peran akal [rasionalitas] manusia sehingga mereka memahami sesuai logika yang dicapai akal [walaupun pada hakikatnya akal manusia adalah terbatas]. Bagi mereka, kekuasaan Allah tidak bersifat mutlak sebagaimana pandangan Asy’ariyah.
Keterbatasan tersebut terjadi oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tuhan membebaskan manusia untuk berbuat dan berkehendak, maka otomatis kehendak dan kebebasan Tuhan dibatasi dengan kehendak dan perbuatan manusia. Sebab Tuhan tidak akan menyalahi aturan/hukum alam yang dibuatnya sendiri.
Misalnya disaat manusia itu mencuri maka hal itu adalah kehendak dan kekuasaan manusia dalam berbuat bukan lagi sebagai keinginan Tuhan. Sebab Tuhan telah menciptakan suatu sistem atau hukum yang berjalan secara natural dalam diri manusia atas kehendak dan kuasa manusia sendiri.
Dalam hal inilah Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.
Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut paham Mu’tazilah memang ada. Kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh hokum alam yang tidak mengalami perubahan.
Bahkan kaum Mu’tazilah menganut faham bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature atau hukum alam sendiri. Hal ini diperjelas dengan pendapatnya al-Jahid bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat yang menimbulkan efek tertentu menurut nature masing-masing. Lebih tegas lagi al-Khayat menerangkan bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature tertentu, dan tak dapat menghasilkan kecuali efek, misalnya api tidak bisa menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin.
Efek yang titimbulkan tiap benda menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, kering, timbul sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu.
Namun sebagaimna saya singgung didepan, pandangan tersebut berbeda dengan pendapat Asy’ariyah. Baginya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap makhluk-Nya. Maka Ia tidak wajib memasukkan orang yang berbuat baik kedalam surga atau memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam neraka. Bahkan Tuhan boleh memasukkan orang yang berbuat baik kedalam neraka dan memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam surga, menurut kehendak dan sesuai kehendaknya yang mutlak. Namun demikian Tuhan tidak berdusta akan berita-Nya.
Kejadian apa saja baik itu besar hingga yang paling kecil tidak akan lepas dari pandangan dan kuasa Allah yang berlaku didalamnya, dalam arti yang seluas-luasnya. Seperti halnya peristiwa yang terjadi bagi orang terkena stroke, mereka memiliki kehendak untuk menggerakkan tangan mereka yang lumpuh tapi mereka tidak bisa sebab Allah tidak memberikan kekuasaan atas tangannya untuk bergerak.
Oleh demikian itu, maka walaupun manusia memiliki kehendak bebas, namun bukan berarti membatasi atas kekuasaan Allah. demikian pandangan Asy’ariyah.
Orang-orang Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: “Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami”; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah : “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Fath: 11].
Namun terlepas dari perdebatan itu, hal yang perlu kita lakukan hal ini ialah mensyukuri atas kuasa Allah kepada kita sebab dialah yang memberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan. Nmaun dari pada itu, Allah lah yang Maha Berkuasa atas segalanya.
Alhamdulillah, maka bersyukurlah dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita, baik buruk, sehat saki, keberhasilan dan kegagalan, kesemuanya adalah kekuasaan-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita. sebab bagi orang yang berpikir, dibalik semua itu ada hikmah yang besar.
*Sumber Bacaan
Toshiku Izutsu, Konsep kepercayaan dalam teologi Islam, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994).