Halimatus Sa’diyah; Wanita Pemula Muqoddimah yang Indah

Halimatus Sa’diyah
bersamadakwah.com

KARTUN MUSLIMAH – Mengenal kepribadian dan karakter ibunda muslimah di zaman Nabi adalah bagian dari ikhtiar seorang hamba untuk menjadi wanita dambaan Surga. Oleh karena itu, shobat Sholihah, yuk kita mengenal salah satu ibu asuh baginda Nabi Muhammad saw.

Bagaimana perjalanan Ibunda Halimah binti Abi Dzuaib Abdullah bin Al-Harits bin Syijnah bin Jabir as Sa’di Al-Bakri Al-Hawazini yang dikenal dengan sebutan Halimatus Sa’diyah, yang mampu memberi pengasuhan terbaik kepada Nabi Muhammad.

Halimah adalah istri Al-Harits bin Abdul Uzza As-Sa’di dari desa Hudaibiyah. Ia merupakan bagian dari aliran darah Nabi Rasulullah Saw, sebagaimana ibu yang memberi kehidupan kepada anaknya.

Pencarian Anak Susuan

Alkisah, Halimah as-Sa’diyah bersama suaminya Al-Harits dan bayinya yang masih mungil pergi ke Mekkah. Mereka turut dalam kafilah Bani Sa’ad. Ketika itu Bani Sa’ad mengahadapi musim kemarau, salah satu jalan untuk kembali mendapatkan kehidupan adalah menjadi murdi’at (Para wanita yang menyusui bayi).

Sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab kala itu, bayi yang baru dilahirkan akan disusukan kepada wanita lain. Wanita yang dipilih biasanya adalah wanita dusun. Dengan alasan, agar si anak hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.

Dalam perjalanan, Halimah bercerita “Semalaman aku dan suamiku tidak bisa tidur. Si kecil terus menangis. Ia haus dan lapar. Sedang kami tidak punya apa-apa. Unta yang kami tunggangi sudah tidak mengeluarkan susu lagi”. Melihat jarak Mekkah sudah dekat, semburat keceriaan muncul di wajah Halimah. Sebentar lagi aku akan mendapatkan seorang bayi untuk disusui, pikirnya.  Wanita-wanita telah bersegera mencari anak susuan. Begitupula Halimah.

Malangnya, hingga lewat dua hari Halimah belum juga mendapatkan bayi untuk disusui. Hingga akhirnya terlintas seorang bayi yang belum mendapatkan ibu susuan. Ialah Muhammad Saw, yang terlahir dalam keadaan yatim.

Tepat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 571 M, terdengar jeritan seorang ibu disusul dengan tangisan seorang bayi dari sebuah rumah kampung Bani Hasyim di Mekkah. Semburat keharuan Aminah melihat bayinya lahir dengan selamat, sembari digendong seorang bidan yang bernama Syifa’, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf. “Bayimu laki-laki!” pekiknya kegirangan.

Aminah menyungging senyum lega. Namun ketika ia mengingat mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah berpulang 6 bulan yang lalu. Bayi yang kemudian diberi nama Muhammad oleh kakeknya itu lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal di Yatsrib. Kelahiran Sang yatim ini dituturkan dalam al-Qur’an, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?” (Q.S Adh-Dhuha:6).

Halimah yang telah mendengar ada seorang bayi yatim yang belum mendapatkan ibu susuan, ia segera mengadu kepada suaminya, “Mas, aku tidak akan pulang tanpa membawa anak susuan. Bagaimana jika kubawa anak yatim itu saja?

Ambillah ia,” tanggapan sang suami, “Mungkin saja Tuhan akan memberi keberuntungan dalam diri bayi itu.” Mendengar jawaban suami, Halimah tidak menghiraukan anggapan bahwa bayi yatim tidak memberi keuntungan, ibunya yang janda takkan mampu memberi imbalan. Meski ia sangat berharap bahwa akan ada kebaikan dalam diri Muhammad.

Halimah pun mengambil bayi itu dari ibunya, ketika membuka kain yang membungkus bayi, ia sontak terkaget dan merasa takjub, “Demi Allah, aku tak pernah melihat bayi seindah ini. Lihat, wajahnya penuh cahaya.”

Sebelum Muhammad disusui Halimah, ibundanya telah menyusuinya selama 3 hari. Kemudian dilanjut oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa bahagia Abu Lahab.

Allah sungguh memilih Halimah untuk menjadi ibu susuan Nabi Agung Muhammad Saw. Namanya yang bermakna lemah lembut, penuh kasih sayang sungguh tercermin dalam sikapnya. Alangkah bahagianya Halimah tatkala melihat semburat cahaya di wajah Muhammad kecil. Dibawanya ia ke pangkuan dengan penuh suka cita, sembari disusui. Betapa terkejutnya Halimah saat menemui air susunya mengalir lancar hingga akhirnya ia mampu menyusui putranya.

Beragam Keberkahan Diperoleh Halimah

Saat tiba waktunya pulang, sedang rombongan Halimah sudah berada jauh meninggalkan mereka. Ia bersama suami dan kedua bayi yang digendongnya segera menaiki unta. Unta yang awal mulanya sangat lamban dan sepuh, kini melangkah gagah dan melewati rombongan. Sontak semua rombongan menoleh dan terkejut melihat Halimah dan suaminya.

Hai, Halimah mengapa begitu cepat untamu berjalan? Bukankah itu unta yang sudah tua renta yang kau bawa saat pergi? Apakah kamu mendapat unta baru?” beragam pertanyaan tertuju pada Halimah.

Benar sekali, ini adalah unta yang kami bawa kemarin”, tanggap Halimah.

Sesampainya di rumah, desa yang terletak di kawasan pegunungan dekat Thaif, 60 kilometer dari kota Mekkah. Udaranya sangat sejuk dan bersih. Beragam keajaiban muncul silih berganti. Kala itu, rumah dalam keadaan gelap gulita, betapa takjubnya ia saat melihat wajah kecil Muhammad bercahaya dan menerangi ruangan.

Tanah rumah Halimah yang awalnya gersang dan hewan-hewan peliharaan yang kurus kering dikarenakan musim kemarau, kini semua berubah seketika. Kambingnya menjadi sangat bugar, sedang ia memakan makanan sama halnya kambing tetangganya. Namun, tetap saja kambing Halimah yang lebih subur dengan susu segar.

Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan Muhammad kecil sungguh sangat pesat. Usia lima bulan sudah pandai berjalan. Beranjak Sembilan bulan, kemampuan verbalnya (bicara) sudah lancar. Ketika berusia 2 tahun, ia sudah dilepas bersama putra-putra Halimah untuk menggembala kambing.

Selama asuhan Halimah, Al-Amin kecil tak sekalipun menangis. Tidak seperti anak-anak pada umumnya. Dari kecil ia tahu untuk bersikap adil, tak pernah ia mengambil bagian kakaknya ketika hendak disusui. Seolah ia tahu, dimana tempat ia menyusu.

Halimah memberikan pendidikan terbaik kepada al-Amin kecil. Ia sangat mencintainya. Selang 2 tahun berlalu, masa perjanjian untuk mengembalikan Muhammad telah tiba. Dengan berat hati Halimah pergi ke Mekkah menemui sang ibu. “Wahai Ibunda pilihan, aku berharap engkau masih bersedia menitipkan anak ini kepada kami. Biarlah ia bersama kami sampai lebih besar dan kuat. Aku khawatir ia jadi sakit-sakitan bila tinggal di Mekkah.” Begitulah ia memohon untuk diperpanjang pengasuhannya.

Mendengar permintaan Halimah, sang bunda pun ikut luluh. Halimah dengan sorak gembira pulang ke kampung halaman, lantaran ia diizinkan untuk mengasuh kembali bocah pilihan. Demikianlah, Nabi tinggal di tengah-tengah Bani Sa’ad hingga berumur 4 tahun.

Keajaiban, Dibalik Terbelahnya Dada Muhammad

Suatu waktu, Rasulullah bermain-main bersama saudara angkatnya, Damrah. Tiba-tiba beliau terlentang seperti pingsan. Sontak kakaknya berteriak dan memanggil sang ibu, “Ibu, lihat adik, apa yang terjadi padanya?” Dengan kaki tergesa ibundanya menghampiri sang anak.

Anakku apa yang kau rasakan?” tanya Halimah penuh khawatir. “Dua lelaki berbaju putih mendatangiku lalu membelah dadaku, mereka mencuci hatiku kemudian dijahit sedang aku tidak merasakan sakit dan tidak tahu siapa mereka.” Halimah kebingungan, namun ia percaya karena Muhammad tidak pernah berbohong.

Sejak kejadian itu, Halimah beserta suaminya takut kalau terjadi apa-apa terhadap si kecil Muhammad. Mereka segera membawanya kepada sang bunda, Aminah. Meski dengan berat hati, Halimah pulang dengan linangan air mata. Ia berharap suatu saat nanti bisa dipertemukan kembali dengan si kecil Muhammad.

Semenjak itu, Halimah tidak pernah lagi berjumpa dengannya. Namun, ketika Rasul berusia 40 tahun, saat amanah kerasulan ia terima. Halimah dipertemukan dengan Rasulullah, dalam sebuah riwayat;

“Dari Abu Thufail r.a berkata: “(Suatu ketika) saya melihat Nabi Saw. Sedang membagikan daging di daerah Ji’ranah. Kemudian ada seorang perempuan datang dan mendekat. Dan Nabi Saw pun bergegas menggelar selendangnya di tanah (mempersilahkannya duduk). Perempuan itu kemudian duduk di atas selendang tersebut. Saya bertanya, “Siapa perempuan itu?, orang-orang menjawab, “Itu ibu (susuan) yang telah menyusui Nabi Saw (H.R Abu Daud)

Dari riwayat di atas, sungguh begitu mulia perlakuan Nabi terhadap ibu susuannya. Beliau memberikan contoh agar senantiasa memuliakan seorang ibu.

Halimah as-Sa’diyah, putri Abu Dzuaib adalah muslimah teladan sepanjang zaman. Keikhlasannya dalam mengasuh Rasulullah adalah bagian dari tanda kasih sayang ibu yang tak terbatas. Ia wafat di kota Madinah dan dimakamkan di Baqi’. Pantaskah kita untuk mengikuti jejak beliau sepertihalnya muslimah lainnya seperti Rabiatul Adawiyah? Seorang bunda yang penuh kasih sayang? Semoga sobat Sholihah bisa menjejaki kisah kehidupan beliau. Aamiin.

Galeri untuk Halimatus Sa’diyah; Wanita Pemula Muqoddimah yang Indah

Gambar Gravatar
*Reefa Malik penulis pecinta buku asal Kendari yang memiliki impian untuk menebar ilmu lewat tulisan dan mendirikan rumah baca di daerahnya. Kesehariannya hanya bergelut dengan buku-buku dan mengajar, sembari melanjutkan pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Untuk mengenalnya lebih lanjut bisa langsung menyapa lewat Facebook Reefa Malik dan Instagram @reefa_malik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *