Ali merupakan sahabat Rasulullah dan sekaligus sepupu, dan menantu beliau, bahkan semasa kecilnya, di biografi Ali bin abi Thalib tercatat sejarah telah dididik oleh Rasulullah langsung. Maka tak heran jika pengetahuannya sangat luas, baik tentang Islam, dalam memerintah, dan berbudi pekerti yang Rasul contohkan. Untuk menggambarkan kecerdasan Ali, maka Rasul bersabda, “ana madinatul ilmi wa aliyyun babuha.” [Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya].
Terdapat sebuah kisah di mana kecerdasan Ali bin Abi Thalib berusaha diuji keilmuannya. Ada seorang wanita yang baru melahirkan seorang anak lelaki datang kepada Umar bin Khathab. Bayinya telah berumur enam bulan, karena wanita itu melakukan zina, maka diperintahkan agar wanita tersebut di rajam.
Maka Ali berkata kepada Umar: Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mendengar firman Allah: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [Lukman: 14]
Mendengar hal itu, maka Umar mempertimbangankannya secara berhati-hati, setelah dipikirkannya, maka Umar berkata, “Seandainya Ali tidak memberikan pendapatnya maka niscaya aku telah berbuat kesalahan besar.” Disitulah letak kecerdasan Ali, dia memutuskan suatu hal dengan mempertimbangakan segala hal secara keseluruhan.
Namun dari pada itu, walau pun beliau terkenal sebagai sahabat yang cerdas, akan tetapi sifat dan sikapnya selalu merendahkan hatinya, tidak pernah dia bersombong dengan kecerdasan itu. Sebab apa yang dimilikinya, termasuk kecerdasan hanyalah bersifat fana dan tak layak untuk disombongkan.
Makanya, Ali dalam perkataan yang masyhur yang selalu dijadikan maqalah tertera, “Janganlah orang yang tidak mengetahui merasa malu bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya, dan janganlah orang yang alim merasa malu mengatakan: ‘Allah yang lebih mengetahui’ jika dia ditanya tentang perkara yang tidak diketahuinya.”
Kisah Ali bin Abi Thalib
Selain terkenal dengan kecerdasannya, Ali juga terkenal sebagai pahlawan yang sangat tangguh, dia tak gentar sama sekali menghadapi musuh. Disaat perang Badar, misalnya, Ali perang tanding dengan Al-Walid, dan tanpa memberi waktu lama Al-Walid pun dipenggal oleh Ali.
Disaat perang Uhud, Ali berhadapan lawan tanding atau duel dengan Thalhah bin Abi Thalhah, hanya dengan satu kali ayunan pedangnya, maka ditebaslah kaki Thalhah. Maka terkaparlah Thalhah. Karena adik Thalhah yang bernama Usman tidak terima, maka majulah Usman untuk menikam Ali. Namun Hamzah terlebih dulu menusuk Usman dengan pedangnya.
Masih terus tidak terima, maka majulah orang Quraisy yang juga saudara Thalhah yakni Abu Sa’id ingin membalaskan dua saudaranya yang sudah terkapar di tanah. Maka Abu Said dibantu oleh Arthah bin Syurahbil maju untuk membalas. Namun, segeralah Ali melompat kedepan dan menebas keduanya sekaligus. Bahkan sampai sembilan orang yang maju saat itu semuanya dibunuh oleh Ali.
Demikian pula yang terjadi pada perang Khaibar, diusianya yang masih tergolong sangat muda, banyak kisa-kisah kepahlawanan Ali yang menunjukkan ketangguhan dan keberaniannya dalam menegakkan agama Allah. Sebab disitulah salah satu ciri pribadi yang mulia. Ali pembawa panji kehormatan dari Rasulullah, bahkan Rasul bersabda, “Kedudukan Ali di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya tidak ada nabi setelahku.” (HR. Muslim).
Ali bin Abi Thalib juga merupakan seorang khalifah keempat setelah Usman bin Affan. Beliau sosok pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Kedudukannya sebagai khalifah tak menghalanginya untuk berbaur dengan masyarakat. Pernah suatu ketika dikisahkan, beliau memasuki sebuah pasar, dengan mengenakan pakaian setengah betis sembari menyampirkan selendang. Sehingga orang-orang tidak mengenalinya bahwa dia seorang khalifah.
Sifat zuhud dan kesederhanaannya [padahal dia seorang khalifah yang bisa saja hidup mewah] namun dia memilih untuk menjauh dari hingar-bingar dunia, dia memilih untuk bersahabat dengan sunyinya malam (untuk beribadah), suka pakaian sederhana, makanannya makanan rakyat kecil. Sehingga sungguh terlihat tidak ada perbedaan seorang pemimpin dan rakyat, semuanya berbaur menjadi satu.
Bahkan saat berada di pasar, Ali tak sungkan untuk membantu dan membawakan barang-barang miliki kaum lemah. Dia letakkan dipundaknya kemudian membawakan ketempat yang diminta. Itulah sosok pemimpin yang bersahaja.
Selain itu ada pula kisah kebijaksanaan Ali dan kerendahan hatinya. Pernah suatu saat baju besi yang biasa beliau gunakan saat perang ternyata hilang diambil orang. Baju besi itu diketahui dibawa oleh seorang Nasrani. Karena Ali merasa bajunya diambil orang, lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut.
Padahal saat itu Ali sudah menjadi khalifah, dan hakim yang akan memutus perkara tersebut adalah hakim yang memang berada dibawah naungan Ali yang secara ringkas bisa saja Ali dengan mudah untuk menyruh hakim agar memenangkan dirinya atas perkara tersebut. Namun, beliau bukanlah tipe orang yang demikian.
Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali. Si Nasrani tetap bersikukuh bahwa itu adalah miliknya, bukan milik Ali. Lalu hakim bertanya kepada Ali apakah dia memiliki bukti atau saksi bahwa orang Nasrani tersebut yang memang mengambil.
Ali pun senang karena sang hakim bersikap objektif dan tidak memihak. Dan seraya Ali berkata bahwa dirinya tidak memiliki bukti dan saksi, hanya saja Ali yakin bahwa baju yang ditangan orang Nasrani itu sangat mirip dengan miliknya yang orang lain tentu tidak punya.
Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai. Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali, “Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi.” Kemudian si Nasrani itu merasakan dan menemukan kebenaran Islam yang sangat adil sehingga dia bersyahadat kala itu juga.
Kemudian orang Nasrani tadi mengakui bahwa baju besi itu adalah memang milik Ali bin Abi Thalib. Lalu dia mengembalikan kepada Ali. Namun, melihat hal itu, Ali pun menghadiahkan baju besinya kepada orang tersebut yang baru saja menjadi muallaf. Orang tersebut selain mendapatkah hidayah dari Allah juga mendapatkan hadiah yang tak pernah dia lupakan dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Itulah kebersahajaan dan kerendahan hati Ali bi Abi Thalib yang tak pernah mengandalkan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan dirinya, namun dia berlaku sesuai dengan ajaran dan kasih sayang dalam Islam sebagaimana Rasulullah ajarkan kepadanya sejak kecil.
Demikianlah sekelumit kisah-kisah tentang Ali bin Abi Thalib yang sangat menyentuh hati dan memberikan motivasi kepada kita [umat Islam] untuk menjadi pribadi muslim yang sejati, yang beilmu, berakhlak, dan baik hati.