“Bila aku dapat meraih cinta-Mu, maka harta tiada berharga, dan segala sesuatu yang di atas debu hanyalah debu”. (Al-Mutanabbi)
Menjadi seorang muslimah sejati, biasa disebut mar’ah sholihah tentu adalah dambaan setiap wanita. Bener kan sobat sholihah? Tentu dengan menjadi sosok dambaan Surga adalah jalan mecapai apa yang kamu inginkan. Yuk kita simak kisah sufisistik seorang muslimah yang menjadi bagian dari sejarah, seorang wanita yang bersumpah mencampakkan dunia dan menjadikan Allah sebagai objek yang dicintainya.
Siapakah dia? Yap, Rabi’ah Al-Adawiyah, namanya dikenang di bumi dan langit. Kisahnya menggetarkan dunia. Ia memiliki janji suci untuk setia mencintai Allah, dengan ditegaskannya dalam dua hal; pertama, kemiskinan, kedua, keperawanannya.
Kelahirannya di Bashrah, kini kita mengenalnya Iraq, yang diperkirakan 95-97 Hijriyah (713 atau 717 Masehi). Ia dilahirkan dalam keluarga yang dikenal sangat miskin. Ayahnya bernama Ismail yang bertakwa kepada Allah, konon katanya ia bekerja sebagai pengemudi sampan.
Setiap harinya ia menyebrangkan orang-orang di sungai Dajlah. Rabi’ah merupakan anak terakhir dari empat bersaudara yang kesemuanya adalah perempuan. Suatu waktu, pada perempat pertama abad II Hijriyah, Daulah Bani Umayyah dilanda kekacauan, dilanjut dengan Bashrah yang dilanda kemarau panjang selama setahun dan berkembang menjadi bencana kelaparan yang sangat hebat. Di sinilah kisah ini bermula.
Malam itu, saat teriakan seorang ibu menjerit kesakitan. Kelahiran sosok yang dinantikan menjadi berita gembira yang ditunggu-tunggu. Sayangnya, kondisi rumah yang tidak memadai, malam yang gelap tanpa adanya minyak sebagai bahan penerangan begitu juga kain pembungkus bayi Rabi’ah. Mendengar jeritan sang istri, Ismail bergegas mencari pertolongan. Diketuknya satu per satu rumah tetangga.
Namun, tidak satupun yang muncul dikarenakan terlelap dalam gelapnya malam. Sampai akhirnya ia kembali tanpa membawa apapun. Kemiskinan hidup yang mencekik orangtua Rabi’ah telah memaksa mereka untuk senantiasa berdoa agar diberi anugrah anak lelaki yang kelak bisa menjadi tulang punggung keluarga.
Harapan itu, pupus tatkala yang lahir adalah seorang bayi perempuan. Bayi itu diberi nama Rabi’ah Al-Adawiyah, orangtua Rabi’ah hanya bisa pasrah tawakkal kepada Allah ketika harapan tak sesuai kenyataan.
Rabi’ah yang berarti empat menjadi cerminan bahwa ia adalah anak ke empat. Sayangnya, namanya dianggap aneh dan jelek oleh sebagian masyarakat, ditambah lagi dengan saudaranya yang menolak dan tidak setuju dengan pemberian nama tersebut menjadikan ayahnya bersedih. Akan tetapi, tatkala sang ayah terlelap sembari menunggui putri ke empatnya, ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw bersabda,
“Janganlah engkau bersedih karena putrimu itu akan menjadi wanita yang mulia, sehingga banyak orang yang akan mengharapkan syafaatnya.”
Kemudian Rasulullah menyuruh ayah Rabi’ah untuk menemui Isa Zadan, Amir Bashrah dengan menyiapkan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah Saw, sebagaimana yang disampaikan dalam mimpinya,
“Hai Amir, engkau biasannya sholat 100 rakaat tiap malam, dan setiap malam jum’at 40 raka’at. Tetapi pada jum’at yang terakhir kau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar 400 dinar, kepada yang membawa surat ini, sebagai kifarat atas kelalaian itu.”
Pagi harinya, ayah Rabi’ah melaksanakan perintah Rasul. Membaca surat itu, Amir segera memerintahkan untuk segera memberikan 400 dinar. Namun ia membatalkannya seraya berkata,
“Biarlah saya sendiri yang mengantarkan uang ini, sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirimkan pesan ini, dan saya akan mengawasi anaknya yang mulia ini.”
Begitulah awal mula kelahiran Rabi’ah. Kehidupannya yang penuh dengan kesederhanaan menjadikan sosok Rabi’ah kecil menjadi anak yang terbiasa dengan zuhud. Ayahnya mendidiknya agar berakhlak mulia, membaca al-Qur’an, dan memperkuat ketakwaan kepada Allah.
Dalam mengenyam pendidikannya, Rabi’ah senantiasa menjadikan sang ayah sebagai suri tauladan. Bahkan hingga lafadz-lafadz doa yang didengar dari ayahnya senantiasa ia simak baik-baik kemudian dihafal dan diamalkannya. Hingga akhirnya, keseluruhan akhlak mulia yang dicontohkan ayahnya mengakar erat dalam diri Rabi’ah, dan bahkan tak jarang membuat sang ayah merasa kagum kepada dirinya.
Suatu waktu, ketika seluruh angggota keluarga Rabi’ah berada duduk di sekitar meja makan, kecuali Rabi’ah. Ia memandang ayahnya dengan penuh tanda tanya mengenai makanan yang dihidangkan.
“Ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal.” Dengan wajah terkejut ayahnya menjawab, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang haram?”
Rabi’ah menatap ayahnya lekat-lekat sembari menanggapi, “Biar saja kita menahan lapar di dunia ini, lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Sungguh jawaban Rabi’ah yang tatkala itu masih kecil, menunjukkan keimanan yang tertanam kokoh dalam dirinya.
Rabi’ah kecil mengalami pahitnya kehidupan saat ayahnya Ismail meninggal dunia, kemudian disusul ibundanya. Ia beserta ketiga saudaranya menjadi anak yatim piatu. Adapun harta yang ditinggalkan orangtuanya, hanya berupa perahu yang kemudian digunakan Rabi’ah untuk mencari nafkah.
Rabi’ah terdidik menjadi seorang yang mandiri sebagai penarik perahu yang menyeberangkan dari tepi sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain. Dengan hidup serba kecukupan, menjadikan Rabi’ah memahami akan keperihatinan. Hal ini membuat jiwanya semakin peka terhadap sosial dan spritualitasnya mulai nampak.
Seiring berjalannya waktu, kota Bashrah kembali dilanda kekeringan, kelaparan, dan kejahatan sosial. Rabi’ah tatkala itu mengalami penderitaan ketika ia diculik dan diperjualbelikan benjadi seorang budak dengan harga enam dirham (sejumlah 22ribu jika dirupiahkan).
Ditambah dengan ia harus menanggung kesedihan yang teramat mendalam ketika mendengar kabar ketiga saudaranya meninggal karena kelaparan. Menjadi budak bukanlah hal yang mudah terlewati, Rabi’ah harus bekerja keras dan memikul pekerjaan yang teramat berat. Hari-harinya dilalui dengan tetap berserah diri kepada Sang Kuasa jika itulah jalan yang harus ia tempuh.
Suatu ketika, Rabi’ah sedang berjalan sendirian. Seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah mencoba melarikan diri, tiba-tiba saja ia terjatuh dan tergelincir sehingga tangannya terkilir. Ia kemudian menangis dan menundukkan mukanya ke tanah, “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tidak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan memenuhi kehendakMu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.”
Orang yang tidak dikenalnya berkata, “Rabi’ah janganlah engkau berduka. Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu.”
Sembari menjalankan pekerjaannya sebagai budak, Rabi’ah tak pernah melupakan untuk bersujud kepada Rabbnya. Dikisahkan, suatu malam ketika Rabi’ah bersujud dan memanjatkan do’a. Majikannya yang kebetulan terjaga dari tidur, melihat dan mendengarkan doa tersebut “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah dapat memenuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.”
Ketika mentari mulai menyingsing, tiba-tiba saja sang majikan memanggil Rabi’ah dan bersikap lembut kepadanya. Sang majikan berseru, “Hai Rabi’ah kau kini kuizinkan pergi dan bebas meninggalkanku.” Saat itulah ia menjadi seorang wanita yang bebas, yang berhak menentukan sendiri masa depannya.
Setelah menjadi orang merdeka, Rabi’ah menelusuri berbagai tempat dan mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia segera mengembara ke padang pasir, menjadi seorang sufi dan menempuh hidup zuhud. Pilihannya untuk tidak menikah adalah bagian yang menjadi perdebatan dikalangan para sufi. Ialah seorang sufi wanita yang menempuh jalan tasawuf cinta.
Konsepnya mengenai mahabbah bukanlah dengan menempuh jalan pernikahan, melainkan memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan memberi sikap melas kepada-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membisikkan cinta dengan puisi maupun prosa dalam pelatihan kesufian. Sebagaimana dalam syairnya:
Sungguh pantas untuk pelayan keluarga ‘Atik ini
Yang menjadi orang terkemuka di masanya
Paling suci fitrahnya
Paling tinggi keadaan jiwanya
Paling dahsyat penolakannya terhadap dunia beserta pesonanya
Sungguh pantas jika pelariannya kepada Allah saja
Telah menghadapkan jiwanya yang penuh syair
Menghaturkan cinta kepada Sang Ilahi.”
Perjalanan hidup Rabi’ah dengan beragam karomah yang dimilikinya adalah bagian dari tingkatan (maqom) tertinggi di sisi Tuhan. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya, dan menjadi pribadi yang sholeh/ah serta hanya mengharap keridhoan-Nya sebagaimana Rabi’ah.