KARTUN MUSLIMAH — Jujur, tulisan-tulisan Asa Firda Inayah alias Afi itu lolos dari radar ketertarikan saya. Ketika orang mulai menghebohkannya, saya agak tertarik, sayangnya hanya sekilas.
Bagi saya, tak ada hal yang terlalu menarik dari tulisannya untuk saya jelajahi hingga akhir. Bahwa tulisan-tulisannya tergolong “berat” untuk ABG seusianya, itu memang cukup mengesankan.
Namun, saya telah terlanjur menikmati banyak tulisan bernas semacam itu dari anak-anak seusianya, bahkan dengan kualitas dan kedalaman yang lebih memesona, sehingga keterpikatan saya menjadi biasa saja.
Apalagi ketika seorang Afi akhirnya lagi-lagi dijadikan komoditas politik bagi kalangan tertentu untuk menohok lawan. Maka segalanya menjadi hambar. Lalu, tinggallah Afi terperangah sebagai korban.
Mari kita jernih melihat, bahwa tulisan-tulisan Afi senantiasa berkisah tentang kegalauan, namun disajikan dengan kemasan yang cerdas. Ini sepenuhnya ekspresi naratif seorang ABG lho ya, lengkap dengan segala ikhtiar self-identification, storm and stress-nya.
Afi adalah wakil dari produk pendidikan masa kini, namun dengan kecerdasan di atas teman-teman sebayanya. Itu saja, dan hanya segitu saja. Sedangkan sisanya adalah 100 % ala anak masa kini : cerdas namun tak bijak; otak terasah namun hati tumpul; berfikir namun tak berakal. Ia berburu kebenaran lewat nalar, padahal kebenaran hadir pada kejernihan hati.
Afi hanya mengingatkan saya dengan sosok Soe Hok Gie atau Ahmad Wahib, atau mungkin Nurcholis Madjid Muda. Keempatnya berkarakter mirip : cerdas-cerdas galau, serta berburu kebenaran pakai otak.
Dan galau Soe Hok Gie serta Ahmad Wahib disajikan jauh lebih berkualitas daripada Afi. Ada kedalaman filosofis dari keduanya. Kegalauan keduanya jelas lebih menggugat dan menggigit.
Keempat orang ini kemudian memang mampu meraih perhatian, pujian dan sanjungan sesaat. Karena ada sekian banyak kegalauan bisu yang terwakili oleh tulisannya.
Tapi ini sebenarnya “prestasi” yang dapat diraih oleh siapapun. Bahkan oleh teroris dungu yang berfikir untuk membom sumur Zamzam sekalipun.
Pertanyaannya : Kenapa ekspresi pemikiran cerdas nan galau cenderung dipersepsi sebagai hebat ? Ini wajar, karena kegalauan yang cerdas senantiasa mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam, menghentak dan menghenyak.
Ya, pemikiran galau nan cerdas adalah pemikiran yang memproduksi pertanyaan, bukan jawaban. Dan ia terasa semakin cerdas jika mampu mempertanyakan jawaban. Ini yang disebut berpikir radikal.
Dan Afi adalah sepenuhnya radikal: sejenis radikalisme yang dihasrati penuh nafsu oleh kaum liberal. Dan buah pikiran Afi akan terasa semakin bermakna, ketika bangsa ini menyadari bahwa dirinya sudah lama tak berpikir. Sebaliknya, pemikiran yang cerdas, bijak dan kontemplatif tak akan meraih pesona dalam budaya pop kita.
Nah, sekarang fenomena Afi telah meredup seiring isyu plagiarisme, sebagaimana fenomena Awkarin yang lenyap dikubur kebenaran. Sebagai remaja galau, betapa terpukulnya ia saat ini. Bully bertubi-tubi menerpanya, mungkin termasuk tulisan ini, sedangkan jiwanya tak cukup matang untuk memikulnya.
Bagaimanapun, Afi adalah produk pendidikan masa kini yang mengasah otak namun tak mendidik kematangan. Lalu, kemana perginya orang-orang yang telah tega menjadikannya komoditas politik untuk melawan kubu seberang?
Sadar dan pedulikah mereka akan nasib dan masa depan gadis secerdas Afi ? Atau mereka saat ini sedang sibuk menggoreng kambing hitam bahwa yang bersalah dan bertanggung jawab adalah orang-orang yang mencemooh Afi?
Kasihan Afi. Ia bak rakyat sipil yang dengan teganya telah dijadikan tameng manusia oleh segelintir panglima pengecut dalam sebuah perang yang brutal. Lalu ketika ia tertembak musuh, panglima pengecut itupun berteriak :
“Kalian jahaaattt…”