Maulid Nabi Muhammad Saw. Begitulah orang-orang menyebutnya, sebatas istilah untuk merujuk pada acara memperingati kisah kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Namun, membicarakan maulid nabi pasti akan selalu dibumbui dengan pendapat yang pro maupun yang kontra. Oleh karenanya, tulisan ini tidak akan membahas tentang perdebatan boleh tidaknya, bid’ah tidaknya, atau apapun itu.
Biarlah perdebatan mengenai pro-kontra itu usai, keduanya sama-sama berniat baik, dalil yang digunakan sama-sama kuat, argumentasinya sama-sama hebat. Biarlah semua diberi kebebasan, yang ingin menjalankan jangan sampai menghasut yang meninggalkan. Dan yang tak berkenan menjalankan jangan sampai mencemooh yang menjalankan.
Agar hidup tidak menjadi persinggungan yang panas, dan keharmonisan dalam bermasyarakat bisa terjaga. Oleh karenanya, saling menghargai dan jangan saling menyalahkan adalah lebih bijak ketimbang harus mempertahankan argumen yang jelas-jelas tidak diperlukan. Namun dari pada itu, kita mesti tahu [sebagai luasan pengetahuan] tentang awal mula hingga hikmah dibalik mentradisinya maulidan ini.
Sepetik Sejarah Maulid Nabi
Tidak ada data sejarah yang lengkap mengenai kapan awal tepatnya muncul perayaan maulid nabi. Ada yang berpandangan bahwa maulid nabi muncul pada masa Sultan Salahudin Al-Ayyubi [1193].
Kala itu umat Islam berperang menghadapi tentara Salibis, yang kita kenal dengan “Perang Salib”. Disaat umat Islam mulai mengalami tekanan hebat, semangat juang prajurit mulai kendor, maka ada inisiatif bagus dari Al-Ayyubi untuk menguatkan kembali dan menyatukan mereka, yakni dengan mengadakan Maulid Nabi. Sambil membacakan riwayat perjuangan nabi dan ‘dalil-dalil’ perjuangan.
Selain pandangan diatas, ada pula yang berpendapat, bahwa peringatan maulid nabi pertama kali dilakoni oleh kelompok Syiah Fatimiyyun di Dinasti Ubadiyyun. Sebagaimana kebiasaan orang Syiah yang memiliki banyak upacara perayaan hari-hari tertentu dengan latar kisah/sejarah tertentu. Dan maulid nabi diyakini berasal dari sana, kebiasaan orang Syiah.
Ada pula yang berpandangan bahwa tradisi maulid nabi ini dipelopori oleh Muzaffaridun Al-Kaukabri di Irak pada abad ke-7 Hijriyah. Yang dilakukan seremonial besar-besaran untuk merayakannya.
Bahkan tak tanggung-tanggung ada yang mencoba mencari-cari dalil bahwa maulidan ini sudah terbiasa dilakukan oleh Rasulullah sendiri, walaupun masih bukan dalam bentuk seremonial, hanya masih berupa ritus pribadi yang dilakukan Rasulullah, yakni berupa puasa.
Hal tersebut dikaitkan dengan hadis Nabi yang ditanya tentang puasa hari senin. Maka Rasulullah menjawab, “Hari itu hari aku dilihirkan dan hari aku diutus.” [Hadis Riwayat Imam Muslim].
Entahlah mana yang betul, namun, dari itu semua dapat kita tarik kesimpulan bahwa tradisi maulid nabi ini sudah ada sejak dahulu; bukan hanya muncul masa-masa ini saja. Artinya pula, orang-orang terdahulu sudah lumrah dengan peringatan maulid nabi ini, namun mereka tidak begitu getol dan tidak begitu ‘panas’ dalam mempermasalahkan boleh tidaknya. Lalu, mengapa kita yang hidup belakangan ini malah lebih sensitif dan lebih berkecamuk dalam memperdebatkannya?
Mengikat Substansi
Beberapa sahabat kartun muslimah bilang bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan untuk merayakan kelahirannya dengan acara perayaan maulid nabi yang kita kenal sekarang. Tapi, pertanyaan saya, bukankah Rasulullah juga tidak pernah memerintahkan umatnya untuk membukukan Al-Quran? Lalu, mengapa engkau menggunakan Al-Quran yang tak pernah Rasul perintahkan utnuk membukukannya?
Ketahuilah, perayaan maulid nabi itu bukanlah ibadah seperti shalat, bukan kewajiban agama, bukan ushuliyah syar’iyah, dan tidak punya dalil literal yang terang; baik dalam Al-Quran maupun hadis.
Tapi, perayaan maulid nabi adalah kreatifitas umat Islam [sebagian], baik itu dalam berdakwah, mengikat ukhuwah [persaudaraan], menyampaikan pengajaran tentang risalah dan perjalanan Nabi Muhammad, dan lainnya. Sekali lagi, maulidan itu hanyalah media kreatifitas yang tak berhubungan dengan wilayah ubudiyah. Jika demikian, pantaskah kreatifitas ini selalu dikaitkan dengan dalil-dalil literal?
Lagi pula, peringatan maulid itu diisi dengan ceramah agama, pesan-pesan kebaikan, sedekah, dan bahkan ada juga yang menyantuni kaum dhuafa, serta rangkaian kegiatan positif lain didalamnya. Sedangkan yang namanya dakwah tak pernah mati dengan kreatifitas, dan kreatifitas tak pernah surut [kekurangan] dalam dakwah.
Namun, janganlah memaksa diri untuk memperingati maulid nabi dengan seremonial yang besar-besaran, sebab seremonial itu tak begitu penting jika dibandingkan dengan hilangnya makna substansial dalam perbaikan diri.
Maulid nabi seperti halnya memperingati ulang tahunnya Rasulullah. Tapi, bukan sebatas mengagumi seremonialnya saja, akan tetapi tokoh agung yang paling berpengaruh di dunia itulah yang perlu kita teladani semasa hidupnya.
Hikmah Dibalik Maulidan
Maulid nabi bukan hanya dirayakan di Indonesia saja, tapi diseluruh belahan dunia dengan tradisi-tradisi tertentu dan istilah-istilah berbeda tentunya; untuk merayakan kelahiran Rasulullah tersebut.
Dengan adanya peringatan tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi positif kepada anak muda khususnya dalam meneladani akhlak Rasulullah, perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Allah, meneladani kepemimpinan Rasulullah, dan segala seluk-beluk masa-masa kehidupan beliau yang dapat kita tarik ibrah.
Kecintaan kepada Rasulullah harus ditanamkan sejak kecil, sebab tidak ada manusia dan mahluk apapun itu yang patut dijadikan teladan sesempurna Rasulullah. Sedangkan kemajuan zaman yang diikuti dengan perkembangan teknologi belakangan ini, [sedikit banyak] telah menyingkirkan kecintaan anak muslim kepada Nabinya.
Umat Islam [dengan teknologinya] dibuat terlalu sibuk mengurus duniawi, hingga lupa masalah ukhrawi; walaupun hanya sebatas bershalawat kepada Nabi. Artinya, teknologi yang mestinya digunakan sebagai ladang kreatifitas berdakwah, malah hanya difokuskan pada kesibukan duniawi.
Jika demikian, maka; masa sekarang justru jauh lebih berbahaya ketimbang masanya Salahudin Al-Ayyubi menghadapi kaum salibis. Sebab manusia [umat Islam] harus menghadapi dirinya sendiri. Manusia harus melawan musuh yang bersemayam dalam hatinya.
Manusia dibuat tercerai berai dengan saudara-saudaranya, yang dekat dibuat jauh, dan yang jauh dibuat semakin terbuang. Begitulah gambaran umat Islam saat ini, kita hanya bisa mengingat kejayaan umat Islam masa silam tanpa kita berbuat perubahan untuk meniru mereka, persatuan sulit didapatkan, semangat juang semakin dikendorkan, dan pertahanan semakin rapuh. Melihat hal itu, maka tidak salah jika dulu pada masa Salahudin Al-Ayyubi, dia menggunakan perayaan maulidan ini untuk menyatukan umat Islam kembali.
Maka, hal itu juga dirasa sangat baik untuk masa sekarang juga. Untuk menggugah kembali rasa cinta kita kepada Rasulullah, meneladani kehidupannya, meniru akhlaknya, kembali kepada ajarannya, dan menyegarkan kembali tentang pentingnya rasa persatuan dan persaudaraan.
Jadi, dengan peringtan maulidan ini banyak nilai yang mestinya kita dapatkan, mulai dari nilai spiritual [rasa cinta kepada Rasulullah], nilai pendidikan [bertambah wawasan atas sejarah], nilai sosial [bersedekah dan santunan], nilai persaudaraan [bersatunya atau berkumpulnya kaum muslim], serta nilai moral [dengan meniru akhlak Rasulullah].
Maka, rugilah orang yang hanya mengadakan acara maulidan hanya untuk seremonial, sedangkan nilai-nilai yang seharusnya didapat malah pupus entah hilang begitu saja. Sebab inti dari maulidan itu untuk ‘memperbaiki diri’, bukan seremonial semata. Astaghfirullah. Mari sama-sama istighfar.