Shalat sunnah dianjurkan oleh Rasulullah sebagai penyempurna atau sekaligus menutupi kekurangan-kekurangan dalam shalat wajib. Sebagaimana dalam hadis beliau, “Maka, disempurnakanlah dengannya (shalat sunnah) kekurangan dari shalat wajibnya” (Hadis riwayat Al-Imam At-Tirmidzi). Dan, salah satu shalat sunah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah ialah shalat dhuha, disamping shalat tahajjud, shalat qabliyah ba’diyah, dan shalat sunnah lainnya.
Kata ‘dhuha’ sendiri berarti [merujuk] pada waktu matahari terbit. Sebagaimana tercermin dalam Al-Quran Surah Ad-Dhuha [surah ke-93] ayat pertama, “Demi waktu sepenggal matahari naik”. Sehingga secara sederhana, shalat sunnah dhuha dapat dimaknai sebagai shalat yang dikerjakan saat matahari sedang terbit. Namun, bukan berarti bisa dikerjakan seharian penuh selama ada matahari. Dalam hal ini, para ulama memberikan batasan waktu shalat dhuha, yakni mulai dari matahari terbit tujuh hasta sampai sebelum masuknya shalat dhuhur. Atau kalau di-jam-kan ialah sekitar pukul 7 pagi sampai sebelum dhuhur.
Dalil-dalil tentang shalat dhuha
Dalam banyak hadis, Rasulullah memerintahkan shalat dhuha agar selalu dikerjakan. Beberapa diantara hadis-hadis beliau mengenai shalat dhuha:
“Di setiap pagi, ada kewajiban sedekah atas setiap persendian dari salah satu kalian. Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat tahmid ada sedekah, setiap kalimat tahlil ada sedekah, setiap kalimat takbir ada sedekah, setiap amar makruf nahi munkar adalah sedekah. Dan dapat memadai untuk semua itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu dhuha.” (Hadis riwayat Al-Imam Muslim).
Diriwayatkan pula dari Abu Dzar bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Wahai bani Adam, shalatlah untuk-Ku pada awal siang hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu pada hari tersebut.” (Hadis riwayat Al-Imam At-Tirmidzi).
Selain itu, ada pula yang diriwayatkan Al-Imam Abu Daud dalam Hadis Shohih-nya, bahwa Rasulullah bersabda, “Terdapat 360 persendian dalam diri manusia, dan ada kewajiban sedekah dari tiap persendian itu. Lalu ada sahabat yang bertanya, “Siapa yang bisa melakukan demikian, ya Rasul? Rasulullah menjawab, “Memendam bekas ludah di dalam masjid dan menghilangkan duri di jalanan. Apabila tidak mendapatkannya, maka cukuplah dengan dua rakaat shalat dhuha.” (Hadis riwayat Al-Imam Abu Dawud).
Itulah beberapa dalil keabsahan disyariatkannya shalat dhuha. Dimana shalat dhuha memiliki legalitas yang dapat diterima secara naqli (dalil-dalil syariat) dan Rasulullah sendiri juga melaksanakannya. Jadi, ketika ada orang yang menganggap bahwa shalat dhuha tidak memiliki ketetapan hukum, maka hal itu dapat ditolak dengan banyaknya hadis yang memerintahkan dan menggambarkan keutamaan shalat dhuha.
Waktu Melaksanakan
Shalat dhuha dilakukan pada siang hari, tepatnya pada tujuh hasta atau seukuran tombak dari ketinggian matahari hingga menjelang zawal (tergelincirnya matahari) yang menjadi awal masuknya shalat dhuhur. Atau jika menggunakan hitungan jam di Indonesia Bagian Barat, maka shalat dhuha bisa dilakukan jam 7 pagi hingga masuknya wkatu dhuhur [tergantung wilayah].
Sedangkan waktu yang lebih utama mengerjakan shalat dhuha ialah pada saat anak onta merasa kepanasan dengan panasnya matahari. Hal ini berdasarkan hadis, “(waktu) Shalat Al-Awwabin (dhuha) ialah ketikan anak onta merasa kepanasan.” (Hadis riwayat Al-Imam Muslim). Jika mengacu pada hadis ini, maka sebaiknya mengerjakan shalat dhuha ketika panas matahari mulai menyengat kulit. Artinya, posisi matahari betul-betul sudah lebih tinggi dari satu tombak atau tujuh hasta.
Hukum Mengerjakan Shalat Dhuha
Secara umum, banyak ulama yang menghukumi shalat dhuha dengan ibadah sunnah. Namun, dibalik kesunnahannya terdapat perbedaan pandangan dalam pengkategorisasian. Ada ulama yang mengatakan bahwa shalat dhuha itu hukumnya sunnah mutlak dan bisa dilakukan setiap hari. Akan tetapi ada pula ulama yang berpandangan shalat dhuha tidak dilakukan setiap hari. Dan, selain itu, ada pula yang berpandangan bahwa shalat dhuha hanya dikerjakan saat-saat tertentu dan kondisi tertentu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin dalam Syahrul Mumti’.
Walaupun ada perbedaan pandangan tentang kesunnahan shalat dhuha, hal itu adalah wajar-wajar saja; sebab perbedaan adalah sunnatullah, namun secara mayoritas para ulama berpandangan bahwa shalat dhuha hukumnya ialah sunnah. Dan hal-hal sunnah sangat dicintai oleh Rasulullah. Sebagaimana kita mencintai Rasulullah maka kita harus mencintai perbuatan yang Rasulullah cintai, termasuk shalat sunnah dhuha.
Perselisihan ulama tentang kesunnahan shalat dhuha itu hanya terletak pada, apakah shalat dhuha termasuk sunnah mutlak yang bisa dikerjakan setiap hari atau tidak setiap hari (atau hanya pada saat-saat tertentu)? Jika kita merefleksi pada masa lalu, dimana hadis ini dipesankan kepada Abu Hurairah, maka kita akan temukan pemahaman mengenai kesunnahan shalat dhuha.
Dulu, Abu Hurairah belajar hadis pada malam hari sehingga dia tidak sempat untuk melakukan shalat tahajjud. Akhirnya Abu Urairah mengadu kepada Rasulullah bagaimana caranya agar tetap mendapat pahala kesunnahan lain dari ibadah. Maka, Rasulullah memerintahkan Abu Hurairah agar mengerjakan shalat dhuha sebagai pengganti shalat malamnya. Oleh karenanya, jika mengikuti Abu Hurairah dan Abu Dzar, maka shalat dhuha tidak dikerjakan setiap hari. Karena melihat aktivitas Abu Hurairah saat malam yang tidak memungkinkah sehingga ia kadang mengganti shalat malam dengan mengerjakan shalat dhuha.
Namun, bukan berarti salah bagi orang yang mengerjakan shalat dhuha setiap hari. Sebab sahabat-sahabat lain tak pernah absen melakukan shalat dhuha atas perintah Rasulullah pula. Dan justru, dengan mengingat banyaknya keutamaan yang disampaikan oleh Rasulullah mengenai shalat dhuha, maka alangkah sangat disayangkan jika kita meninggalkannya, bukankah lebih baik jika shalat dhuha tetap di-istiqamah-kan dalam keseharian.
Sebab dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda, “Amalan yang paling dicintai Allah ialah amalan yang istiqamah walaupun sedikit.” (Hadis riwayat Al-Imam Muslim). Maka melaksanakan dhuha setiap hari (istiqamah) walaupun dua rakaat, maka akan menjadi amalan yang dapat menambah kebaikan bagi yang mengerjakan.
Keutamaan Shalat Dhuha
Banyak sekali keutamaan shalat dhuha. Diantara banyak keutamaan itu ialah: 1) Allah cukupkan rezeki kita pada hari itu. 2) Allah memberikan ampunannya bagi hambanya yang mengerjakan. 3) shalat dhuha adalah bentuk sedekahnya tubuh. 4) menghilangkan kemurungan hidup dan Allah ganti dengan kebaikan hidup. 5) Allah janjikan perlindungan dan surga bagi yang mengerjakan. 6) mendapat pahala haji dan umrah.
Walaupun dalam hadis tidak disebutkan tentang keutamaan shalat dhuha terkait kesehatan fisik dan jiwa. Namun, dalam banyak penelitian disebutkan bahwa shalat dhuha [ibadah pada pagi hari] dapat menguatkan otot dan persendian serta memberikan efek baik pada kardiovaskular. Shalat dhuha juga bisa menghilangkan stress dan meningkatkan kontrol diri manusia.
Dan, selama ini banyak sekali buku-buku bacaan yang mengungkap keutamaan dhuha sebagai shalat pembuka rezeki. Sebab memang betul bahwa dengan shalat dhuha, Allah janjikan kemurahan rezekinya bagi manusia. Allah yang akan mencukupi kebutuhan manusia yang mengerjakan. Jangan khawatir dengan kekurangan itu, jika Allah sendiri yang langsung membukakan pintu rezeki kita.
Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah, “Barang siapa yang mengerjakan shalat dhuha dua belas rakaat, maka Allah akan buatkan mahligai dari emas.” (Hadis riwayat Al-Imam Ibnu Majah)
Dalam hadis lain disebutkan tentang keutamaan shalat dhuha, “Barangsiapa shalat Dhuha 2 rakaat, ia tidak akan termasuk golongan lalai. Dan barang siapa shalat dhuha 4 rakaat, maka akan dimasukkan ke dalam golongan orang yang bertaubat. Dan barang siapa shalat dhuha 6 rakaat, maka akan dicukupi kebutuhannya hari itu. Dan barang siapa yang shalat dhuha 8 rakaat, maka akan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang patuh. Dan barang siapa yang shalat dhuha 12 rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah bagi hamba di surga (Hadis diriwayatkan oleh Al-Imam At-Thabrani).
Bahkan dalam salah satu hadis dijelaskan bahwa shalat dhuha mendapatkan pahala haji dan umrah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah, Anas bin Malik bahwa asulullah bersabda, “Barang siapa shalat subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir untuk Allah sampai matahari terbit, kemudian dilanjutkan dengan mengerjakan shalat sunnah dhuha dua rakaat, maka baginya pahala seperti haji dan umrah sepenuhnya.” (Hadis diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi).
Dan, tentunya kita akan mendapatkan ampunan dari Allah dengan perantara shalat dhuha ini. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa menjaga shalat dhuha, maka dosa-dosanya akan diampuni walau sebanyak buih di samudera.” (Hadis riwayat Al-Imam Ahmad).
Dan ingatlah, bahwa shalat dhuha dan shalat sunnah lainnya juga bermanfaat untuk menutupi kekurangan dalam shalat wajib. Sebagaimana dalam hadis berikut; “Sesungguhnya yang pertama kali dihisan pada diri hamba pada hari kiamat dari amalannya adalah shalatnya. Apabila benar shalatnya, maka dia telah lulus dan beruntung, dan apabila rusak shalatnya, maka dia akan kecewa dan rugi. Jika terdapat kecacatan dalam shalatnya, maka Allah berfirman, ‘Perhatikanlah, jikalau hamba-Ku mempunyai shalat sunnah maka sempurnakanlah dengan shalat sunnahnya atas apa yang kurang dari shalat wajibnya. Jika selesai urusan shalat, barulah periksa amal lainnya. (Hadis riwayat Al-Imam At-Tirmidzi).
Demikianlah beberapa keutamaan shalat dhuha. Semoga kita yang mengerjakannya mendapat apa yang telah dijanjikan oleh Allah dan menambah ketaqwaan kita kepada-Nya.
Tata cara mengerjakan
Sebelum menjelaskan tentang tatacara shalat dhuha. Maka, perlu diketahui bahwa shalat dhuha sebaiknya dilakukan secara munfarid (sendiri-sendiri), namun tidak ada larangan jika dilakukan berjamaah. Namun, selama ini, pendapat yang kuat ialah yang berpandangan bahwa shalat dhuha dan shalat sunnah lainnya dilakukan secara munfarid, kecuali shalat sunnah ‘id, shalat sunnah tarawih dan witirnya.
Namun, sekali lagi, tidak ada larangan jelas yang jelas-jelas melarang akan berjamaahnya shalat dhuha. Sebagaimana dalam hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas, “Aku tidur dirumah bibiku, kemudian Nabi SAW shalat malam (tahajud), lalu aku berdiri shalat bersamanya disebelah kiri beliau, maka beliau memegang kepalaku dan menempatkan aku disebelah kanannya.” (Hadis diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud).
Sedangkan terkait jumah rakaatnya, maka terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai hal ini. Menurut mayoritas kalangan Syafi’iyah dan didukung oleh kelompok malikiyah dan hambaliyah bahwa jumlah rakaat yang dibolehkan ialah delapan rakaat atau empat kali shalat.
Sebagaimana dalam hadis berikut, “Nabi Muhammad pada hari pembebasan Makkah (fathu Makkah) masuk ke rumahnya dan shalat delapan rakaat. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan (lebih cepat) dari itu. Akan tetapi beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujud. (Hadis diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim). Dan, hadis yang menyebutkan dua belas rakaat, maka hadis itu berstatus dhoif. Namun, ada pernyataan penengah dari kelompok mazhab Malikiyah bahwa shalat dhuha buknalah termasuk shalat yang rakaatnya dibatasi, sebab shalat dhuha bisa dikerjakan dengan semampunya, selama ia mampu mengerjakannya. Hal itu bisa saja dua rakaat, empat rakaat, dan seterusya, jika ia mampu dua belas rakat, maka kerjakanlah dua belas rakaat. Namun, memang ada hadis shahih yang menyebutkan delapan rakaat saja.
Dan adapun tata cara mengerjakan shalat sunnah dhuha ialah sama dengan mengerjakan shalat sunnah lainnya, yakni dikerjakan dua rakaat dalam satu kali salam. Dan hal itu bisa diulang-ulang hingga delapan rakaat, artinya bisa dikerjakan hingga empat kali shalat.
Pertama, ialah niat shalat dhuha dyang diiringi takbiratul ikhram.
أُصَلِّي سُنَّةَ الضُحَي رَكْعَتَين ِللهِ تَعَاليَ
Artinya, “Saya niat shalat dhuha dua rakaat karena Allah ta’ala”
Kedua, membaca doa iftitah.
Ketiga, membaca surat Al-Fatihah.
Keempat, dilanjutkan dengan membaca surat-surat pendek. Dalam hal ini ada sebagian ulama yang berpendapat dianjurkan membaca surah Was syamsi wa dhuhaha dan surah Adh-Dhuha. Namun, dalam pandangan lain menganjurkan membaca surah Al-Kafirun dan surah Al-Ikhlas. Namun, semuanya sama-sama baik sebab yang dibaca adalah ayat-ayat Al-Quran. Walaupun pada kenyataannya, tidak ada anjuran yang mengkhususkan bacaan-bacaan tertentu dalam melaksanakan shalat dhuha, baik pada rakaat pertama maupun rakaat kedua.
Kelima, ruku’ (dan membaca tasbih disunnahkan tiga kali)
Keenam, i’tidal (dan bacaannya)
Ketujuh, sujud (dan membaca tasbih disunnahkan tiga kali)
Kedelapan, duduk diantara dua sujud
Kesembilan, sujud kedua (dan membaca tasbih disunnahkan tiga kali)
Kesepuluh, kemudian dilanjutkan dengan berdiri dan melanjutkan rakaat kedua.
Kesebelas, tasyahud akhir.
Keduabelas, salam (akhir shalat)
Setelah itu dilanjutkan dengan dzikir dan doa shalat dhuha, sebagaimana banyak dicontohkan para umala dan shalafus shalih.
Adapun dzikirnya ialah bisa dibaca demikian,
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَ تُبْ عَلَيَّ إِ نَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُوْرَ
Artinya, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat dan Maha Pengampun.”
Adapun doa setelah usai shalat dhuha ialah,
اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ[1]
Artinya, “Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya Allah, apabila rezekiku beada diatas langit, maka turunkanlah. Dan apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, dan apabila sulit maka mudahkanlah, dan apabila kotor maka sucikanlah, dan apabila jauh maka dekatkanlah. Dan dengan kebenaran waktu dhuhaMu, kekuasaanMu, maka datangkanlah kepadaku apa yang telah Engkau datangkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh.”
Dan ada baiknya bagi kita ketika selesai shalat dhuha dengan memperbanyak membaca amalan-amalan dzikir seperti tahmid (alhamdulillah), tahlil (laa ilaaha illahllah), takbir (allahu akbar), dan istigfar (astaghfirullah), karena keutaman dan keistimewaan dzikir tadi sangatlah banyak sehingga sangat disyaangkan jika kita meninggalkannya setelah shalat sunnah lebih-lebih dalam shalat wajib.
Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang cinta dengan perbuatan sunnah tanpa harus meninggalkan kewajiban. Dan semua itu semata-mata karena untuk pengabdian kita kepada Tuhan yang telah menciptakan kita. Yang telah menjadikan kita sebagai ta’abbudin orang-orang yang selalu beribadah kepadanya karena mengharap keridhoan-Nya.