Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad ibn Idris bin al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Syaib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf al-Quraisy (memiliki nasab dengan Nabi Muhammad).
Nama Abu Abdillah merupakan gelar bagi Imam Syafi’i. Karena dalam tradisi Arab, penulisan gelar harus didahulukan. Secara nasab, Imam Syafi’i merupakan keturunan dari Nabi Muhammad silsilah Abdi Manaf. Sedangkan dari pihak ibu, beliau berasal dari suku Adz. Beliau populer dengan sebutan asy-Syafi’i karena sebagai nisbah pada kakek ke-4 beliau.
Biografi Imam Syafi’i
Lahir pada tahun 150 H (767 M) tepatnya di Kota Ghaza, yaitu bagian selatan Palestina. Kampung halaman Imam Syafi’i sebenarnya Mekkah, bukan Palestina, ibu-bapaknya datang ke Ghaza untuk suatu keperluan dan tak lama Imam Syafi’i dilahirkan di Ghaza. Dan akhirnya Syafi’i dibawa ke Mekkah pada usia 2 tahun.
Menurut para ahli sejarah bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah. Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah.
Pendidikan Imam Syafi’i dimulai sejak ia berada di Makkah. Ia menghafalkan al-Qur’an dan mempelajari al-Hadis. Pada usia 9 tahun, Syafi’i kecil telah mampu menghafal al-Qur’an 30 juz serta menguasai banyak Hadis Nabi. Serta telah menghafal kitab al-Muwattha karangan Imam Malik pada usia 10 tahun. Ia belajar bahasa Arab di perkampungan Bani Hudzail di Hijaz, suatu kabilah yang masih murni bahasa Arabnya, guna mendalami bahasa dan sastra Arab.
Awalnya Imam Syafi’i berguru pada ulama Mekkah seperti Muslim ibn Khalid al-Zanji dalam bidang fiqih. Kemudian beliau meminta izin kepada gurunya untuk pergi ke Madinah dalam ragka belajar pada Imam Malik seorang pendiri mazhab. Selain belajar pada Imam Malik, Imam Syafi’i juga belajar pada Ibrahim ibn Sa’ad al-Anshari, Ibrahim ibn Yahya al-Aslami, dan Muhammad al-Dardawi semuanya dalam bidang Hadis.
Imam Syafi’i juga pernah belajar di Yaman kepada Yahya ibn Husein. Bahkan Imam Syafi’i diangkat menjadi sekretaris negara dan Mufti (kepala daerah) di Najran. Di Yaman pula, Imam Syafi’i menikah dengan Hamidah binti Nafi’i, dari pernikahan itu dikaruniai tiga orang anak. Namun, Imam Syafi’i dituduh sebagai kelompok Syiah yang sangat membenci Khalifah Abbasiyah, Harun ar-Rasyid, sehingga Imam Syafi’i ditangkap.
Imam Syafi’i juga pernah belajar di Iraq. Disana beliau belajar tentang Mazhab Hanafiyah kepada Muhammad ibn Hasan, salah seorang murid Imam Hanafi. Hingga akhirnya, Imam Syafi’i merantau ke Mesir hingga beliau wafat disana. Di Iraq, Imam Syafi’i menulis sebuah kitab yang dikenal dengan qaul qadim (fatwa lama), sedangkan saat di Mesir, beliau menulis kitab yang dikenal qaul jadid (fatwa baru).
Semenjak kecil, di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal.
Di Al-Kuttab, Imam Syafi’i justru diangkat menjadi asisten gurunya. Ketika gurunya sedang berhalangan, maka Imam Syafi’i yang menggantikannya untuk mengajar para murid. Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik.
Dikarenakan terjadi pergolakan politik, akhirnya beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam.
Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj salafus saleh yang selama ini dipegangnya. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir.
Pemikirannya Imam Syafi’i
Menurut sarjanawan sejarah, terdapat tiga faktor yang berpegaruh pada pemikiran Imam Syafi’i. Pertama, faktor pluralisme pemikiran. Pada masa Imam Syafi’i hidup sudah banyak ahli fiqh, baik dari murid Imam Hanafi maupun Imam Malik sendiri. Sehingga Imam Syafi’i mampu mengakumulasi berbagai pemikiran fiqih, baik dari Mekkah, Madinah, dan Iraq, serta Mesir menjadikan Imam Syafi’i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran.
Kedua, faktor geografis. Faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Syafi’i lahir. Mesir memiliki warisan budaya Yunani, Persia, Romawi, dan Arab. Sehingga kondisi ini memberikan pengaruh besar pada pemikiran Imam Syafi’i.
Ketiga, faktor Sosial dan Budaya. Dalam hal ini juga mempengaruhi pemikiran Imam Syafi’i terbukti dengan adanya qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim yang bercorak ra’yi dan qaul jadid yang bercorak Hadis.
Iamam Syafi’i adalah ulama yang sangat sibuk berdakwah dan menebar ilmu. Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu itulah, hingga beliau menderita penyakit bawasir dimana duburnya yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun.
Imam Syafi’i termasuk ulama yang produktif dalam berkarya atau menulis kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah Al-Umm dan Ar-Risalah Al-Jadidah.
*Refrensi:
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Imam Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006)