Salah satu ulama pendiri mazhab As-Sunnah ialah Imam Malik yang kemudian dikenal sebagai pendiri mazhab Malikiyah. Nama lengkap beliau ialah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al-Harits Al-Himyari. Beliau diberi gelar Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, dan Mufti Al Haramain.
Biografi Imam Malik bin Anas
Beliau lahir pada tahun 93 H [pada tahun 712 M] di kota Madinah. Pada tahun yang sama dimana kewafatan sahabat Nabi Anas bin Malik yang menjadi shabat Rasulullah dan kemudian mengajar di Madinah.
Beliau berasal dari keluarga yang terhormat, berstatus sosial tinggi. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Tak heran jika Imam Malik dikenal sebagai ahli hadis yang sangat masyhur kala itu [sampai saat ini] dikarenakan semenjak kecil ia telah dididik oleh kakek dan ayahnya yang juga ulama hadis terkenal pada masanya di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu.
Karena keluarganya ulama ahli hadis, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, dan lainnya. Serta gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Jafar Shadiq sebagai ulama fikih.
Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. Di usianya yang terbilang muda itu Imam Malik sudah menjadi sorotan para pengkaji ilmu hadis dan fiqih serta ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh karenanya, smapai-sampai khalifah, mulai dari Al-Mansur, Al-Mahdi, Al-Ma’mun pun pernah jadi murid Imam Malik.
Bukan hanya dari kalangan pembesar saja muridnya, tapi Imam Malik juga dengan ketelatenannya mampu mendidik dan memproduksi ulama-ulama besar, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ulama lainnya seperti Ishaq bin Abadullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As-Sakhtiyani, Ayyub bin Habib Al-Juhani, Ibrahim bin Uqbah, Ismail bin Abi Hakim, Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan sampai lebih dari ribuan ulama terkenal lainnya.
Selain mengaku sebagai murid Imam Malik, ulama-ulama besar seperti Abu Hanifah dan Imam Syafi’i [dengan segala kerendahan hatinya] yang juga notabene pernah menimba ilmu kepada Imam Malik bahkan dijadikan sebagai ulama-ulama sebagai tempat bertukar pikiran atau [dalam bahasa keseharian] dikenal sebagai kawan-kawannya dalam mengasah keilmuan, bukan dianggapnya sebagai murid saja.
Selain Abu Hanifah dan Imam Syafi’i yang menjadi kolega Imam Malik dalam mengasah keilmuan juga terdpat ulama-ulama besar yang turut menjadi sahabat Imam Malik diantaranya adalah Ma’mar, Ibnu Juraij, ‘Amr bin Al-Harits, Al-Auza’i, Syu’bah, Ats-Tsauri, Juwairiyyah bin Asma’, Al-Laits, dan Hammad bin Zaid, serta lainnya.
Sering dalam hidupnya, Imam Malik mendapatkan perlakuan yang kurang baik, entah itu penyiksaan, penghinaan, dan kedholiman kepadanya. Namun ia sebagai seorang yang sabar menghadapinya dengan segala kepasrahan kepada Allah. beliau adalah ulama yang sangat tegas dalam mengatakan apa yang menjadi pengetahuan terkait hukum Allah.
Bahkan beliau tak ragu mengatakan kepada petinggi negara untuk mengatakan dan mengkritik pemimpin yang menyimpang perbuatannya dari ajaran Islam. pernah suatu ketika Imam Malik mengingatkan gubernur Ja’far tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah.
Karya terbesar Imam Malik ialah Kitab Al-Muwatta’ yakni kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Kitab yang sampai sekarang menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat. Kitab tersebut ditulis di masa khalifah Al-Mansur (754 M) dan baru selesai di masa khalifah Al-Mahdi (785 M).
Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadis. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Selain Al-Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan, dimana dalam kitab tersebut terlihat jelas pengaruh kebudayaan Madinah dalam membentuk keputusan Imam Malik dalam berfatwa. Oleh sebab itu, Imam Malik dikenal sebagai ulama tradisionalis dikarenakan beliau memegang teguh ‘kebiasaan orang-orang Madinah’ dalam membentuk fatwanya.
Bukan hanya itu, Mazhab Malikiyah yang dilahirkan oleh Imam Malik terlihat jelas dimana dalam penggunaan sumber hukumnya terdapat kebiasaan orang-orang Madinah. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Malikiyah adalah Al-Quran, Sunnah Rasulullah, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amalu ahli al-Madinah), qiyas (analogi), dan maslahah mursalah.
Mazhab Malikiyah menyebar keseluruh penjuru dunia nulai dari Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Maroko, dan Sudan. Dan hanya Maroko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Malikiyah.
Beliau disegani orang kendati bukan penguasa. Al Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Imam Malik.