Salah satu sahabat Rasulullah yang sangat lihai dalam peperangan dan sangat pandai dalam mengatur strategi militer ialah Khalid bin Walid. Nama aslinya Abu Sulaiman Khalid bin Walid bin Al-Mughirah bin Abdullah Al-Makhzumi. Khalid disebut juga dengan nama Abu Sulaiman. Lahir dari keturunan bangsawan Quraisy Makkah, ayahnya seorang kepala suku Bani Makhzum yang sangat dihormati dan kaya raya.
Khalid muda adalah pribadi yang sangat tangguh, pantang menyerah, cerdas, suka bergulat dan mengasah kemampuan perangnya dengan berbagai jenis senjata, mulai dari pedang, panah, tombak, dan lembing; semua bisa dikuasainya. Makanya ketika ia besar, ia selalu dipercaya menjadi panglima perang. Dan dalam perang yang dipimpinnya, tidak pernah sekalipun dia dikalahkan oleh musuhnya, dia selalu memenangi pertempuran baik saat dia masih kafir maupun setelah masuk Islam.
Khalid mendapat gelar Saifullah Al-Maslul (Pedang Allah yang Terhunus), gelar ini sangat pantas diterima Kahlid; mengingat kiprahnya dalam dunia peperangan yang tak terkalahkan. Dia terkenal dengan pasukan kavaleri-nya (pasukan berkuda) yang sangat ditakuti. Lebih dari ratusan perang yang dia komandani selalu mendapat kemenangan. Bahkan dalam sejarah Perang Uhud (saat itu Khalid masih kafir dan menjadi komandan kaum kafir) kemenangan kafir Quraisy didapat karena taktik yang direncanakan oleh Khalid.
Dalam buku “13 Jendral Besar Islam” karya Nabawiyah Mahmud disebutkan bahwa Khalid selalu dijaga dan diminta oleh kaum kafir Quraisy agar tidak memeluk agama Islam setelah dua pendekar kaum kafir yakni Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab telah berpindah haluan dan memeluk agama Islam.
Namun, Rasulullah dengan sepenuh hati memohon kepada Allah agar Khalid bin Walid bisa bergabung dengan kaum muslimin (sama seperti saat Rasulullah berdoa agar Umar bin Khattab bisa membela Islam). Akhirnya, setelah terjadi perjanjian Hudaibiyah; Khalid masuk Islam, kemudian diangkat menjadi panglima perang kaum muslimin.
Bergabungnya Khalid dengan kaum muslimin semakin membuat gentar kaum kafir, panglima kaum kafir satu per satu meninggalkan agama nenek moyangnya. Dan saat itu Islam semakin diperkuat dengan hadirnya Khalid dalam menegakkan agama Allah. Diantara perang-perang yang dikomandaninya yaitu Perang Mu’tah melawan kekaisaran Romawi, Perang Yamamah, Perang Yarmuk, Perang Firaz, Perang Riddah, dan lainnya.
Dikisahkan pada saat terjadi Perang Mu’tah (perang pertama Khalid setelah masuk Islam) dimana kaum muslim yang jumlahnya hanya sekitar tiga ribu pejuang harus melawan pasukan Romawi yang jumlahnya 200-an ribu personil, saat itu belum diangkat menjadi panglima perang, ia hanya ada dibarisan pejuang lainnya. Dan, hampir saja kaum muslimin mengalami kekalahan namun bisa diselamatkan oleh taktik perang Khalid bin Walid.
Awalnya perang dikomandani oleh Zaid bin Haritsah namun beliau gugur. Kemudian komando dialihkan kepada Ja’far; namun beliau juga gugur dengan kondisi kedua tangannya terputus. Lalu komando dipasrahkan kepada Ibnu Rawahah; namun lagi-lagi panglima muslim itu gugur sebagai syuhada.
Kaum muslimin mulai mengalami kegentingan, dengan sisa pasukannya yang amat sedikit jika dibandingkan dengan pasukan Romawi yang terus berlipat-lipat, masih pula komandan kaum muslimin satu persatu gugur. Akhirnya ada seorang sahabat yakni Tsabit bin Al-Arqam, sambil membawa bendera dia berseru kepada semua sisa pasukan yang ada dan berkata, “Ambillah Abu Sulaiman [Khalid] Demi Allah aku tidak mengambilnya kecuali untukmu. Wahai kaum muslimin apakah kalian setuju jika Abu Sulaiman menjadi panglima?” Maka serentak semua kaum muslimin menjawab “Ya”.
Saat itulah Khalid mengubah strategi perangnya, pasukan dibuatnya sedikit berpencar agar terlihat banyak dan bisa menggentarkan semangat pasukan Romawi. Satuan tempur digeser ke belakang, sayap kanan dipindah ke sayap kiri, dan sayap kiri dialihkan ke sayap kanan. Seratus pasukan dimintanya untuk agak mundur keluar diam-diam dari medan tempur, lalu masuk kembali sepuluh demi sepuluh sambil meneriakkan takbir, agar musuh mengira bahwa itu adalah bala bantuan dari Madinah.
Walhasil semangat pasukan Romawi semakin kendur dan mereka menarik diri dari medan perang karena kiranya semakin banyak bantuan bagi kaum muslim, akhirnya pertempuran usai dan kaum muslimin lah yang meraih kemenangan. Sungguh betapa lihainya strategi yang dirancang Khalid.
Pada masa ke-khalifahan Abu Bakar Asy-Syiddiq, Khalid bin Walid tetap dipercayai untuk memimpin pasukan perang melawan kaum murtad, orang yang mengaku nabi baru, terutama dalam peristiwa penaklukan Mesopotamia [Irak] melawan pasukan Sassaniyah.
Walau pada akhirnya di masa ke-khalifahan Umar bin Khattab, Khalid dimintanya untuk tidak lagi memimpin pasukan perang, agar ada regenerasi kepanglimaan perang bagi kaum muslimin. Dengan rendah hati Khalid akhirnya turun dari posisi panglima dan digantikan kepada yang lain, namun demikian, Khalid bin Walid tetap ikut berjuang bersama kaum muslimin melawan kaum kafir penantang Islam.
Akhir Hayat Khalid bin Walid
Setelah tidak lagi menjabat sebagai panglima perang, Khalid menghabiskan hari-harinya di kediamannya di Kota Homs. Hingga ketika menginjak umur 58 tahun, ia terserang penyakit yang membuatnya selalu terbaring di atas ranjangnya. Tak ada yang ia bisa lakukan lagi kecuali hanya bersabar atas penyakit ‘Amwas yang terus memperpaah kondisi kesehatannya.
Seperti kaum muslimin lainnya yang menginginkan kematian syahid dalam peperangan. Namun, Allah tidak menakdirkan Khalid bin Walid untuk wafat di medan tempur. Ia gelisah karena menghabiskan akhir hayatnya tanpa bertempur lagi. Khalid bin Walid berkata,
“Sungguh aku telah ikut berperang ini dan itu, tapi tak ada sejengkalpun dari tubuhku yang aku harapkan (kematian) kecuali hanya luka goresan pedang, lemparan pahan, tikaman tombak, dan sayatan. Dan sekarang aku terbaring diatas ranjang ini menunggu ajalku seperti matinya seekor unta tua. Semoga mata pengecut tidak pernah tidur.”
Dan seorang sahabat berupaya menenangkan pikiran Khalid yang gelisah dengan berkata. “Khalid, bagaimana mungkin seorang Pedang Allah yang Terhunus bisa dibunuh oleh musuh Allah. Jika musuh berhasil membunuhmu itu berarti Padang Allah telah dipatahkan oleh musuh Allah. Maka Allah tidak akan mengizinkan hal itu.” Dan saat mendengar hal itu, Khalid menjadi tenang.
Tak lama, akhirnya Khalid bin Walid menghadap kehadirat Allah dalam keadaan damai hatinya. Ia wafat dengan usianya yang masih 58 tahun, ia dikuburkan di Syiria. Ia telah berjuang demi tegaknya agama Islam. Keberaniannya dan kecerdasan militernya, kedermawanannya, kesabarannya, patutlah kita tauladani sebagai muslim pejuang yang shaleh dan layak bergelar syahid walau tanpa terbunuh di medan perang.
Mendengar kematian Khalid, Umar bin Khattab turut berduka, Umar yang terkenal keras tak bisa menahan aliran air mata harunya, ia mennagis tersedu-sedu, karena Islam telah kehilangan satu panglima terbaiknya.
Kita sebagai umat Islam hendaklah meneladani sifat Khalid bin Walid yang tak pernah gentar melawan musuh, keberaniannya, kedermawanannya, dan kesabarannya hendaklah menjadi bagian sikap sejati kaum muslim.