Abdullah bin Abdul Muthalib: Biografi, Kisah, Pekerjaan dan Agamanya

Abdullah bin Abdul Muthalib

Berasal dari benih dalam tulang sulbinya lah Rasulullah Muhammad lahir, yakni bapak beliau yang bernama Abdullah bin Abdul Muthalib. Abdullah [atau dikenal juga dengan nama Abdullah Abun Nabi] adalah anak dari keluarga pemuka Quraisy, ayah Abdullah yakni Abdul Muthalib merupakan orang yang disegani di kalangannya. Makanya, tak heran jika Abdul Muthalib dan keturunannya diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin kabilah, walaupun secara formalitas tidak ada struktural demikian.

Sangat sedikit sekali tentang sejarah Abdullah semenjak kehidupan mudanya, namun dia terkenal dengan akhlaknya yang mulia. Abdullah muda tidak pernah larut dalam kebiasaan pemuda lain yang suka mabuk-mabukan, berzina, dan berbuat kekejian. Dia berkomitmen untuk menjauhkan dirinya dari hal-hal buruk tersebut.

Nasab Abdullah

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa nasab [silsilah keturunan] Abdullah ialah sampai kepada Ghalib bin Fahr [atau dikenal juga dengan nama Quraisy] sehingga keturunannya disebut kaum Quraisy.

Bahkan disebutkan bahwa nasab Abdullah sampai kepada Nabi Adam, yakni Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fahr (Quraisy) bin Qinan bin Khuzaimah bin Mudzkirah bin Ilyas bin Mudhar bin Ma’ad bin Adnan.

Ibunya bernama Fatimah binti Amr Al-Makhzumi dari Bani Makhzum [Bani Makhzum sendiri adalah bagian dari Suku Quraisy yang sangat berperan besar terhadap kehormatan Suku Quraisy].

Kelahiran Abdullah

Abdullah lahir pada tahun 545 Masehi dengan jalan kehidupan yang dramatis [namun terkai tahun dalam hal ini tidak ada bukti jelas tentang tahun kelahiran beliau, hanya berdasarkan studi yang dilakukan DR. Haikal yang dituangkan dalam buku biografi tulisannya tentang shirah Nabi Muhammad].

Dikatakan dramatis karena mengingat sejarah awal Abdullah atas undi nasib hidup yang dilakukan oleh ayahnya. Awalnya, ketika Abdul Muthalib menggali sumur zam-zam tidak ada orang lain selain anak satu-satunya yang bisa membantunya, sehingga para komplotan orang Quraisy yang tidak suka dengan hal itu menginginkan agar Abdul Muthalib dilengserkan saja dari kursi pemuka Quraisy.

Karena hanya memiliki satu anak lelaki saja sehingga Abdul Muthalib tidak ada yang mendukung kekuasaannya, sedangkan bagi orang-orang Quraisy memiliki banyak anak laki-laki adalah kebanggaan, sebab mereka bisa mendukung [terutama dalam berperang] atas apa saja yang ayah mereka inginkan.

Akhirnya, Abdul Muthalib bernazar kepada Tuhan bahwa jika dia memiliki sepuluh anak maka dia akan mengurbankan satu diantara anak-anaknya itu.

Ternyata Tuhan megabulkan permintaan Abdul Muthalib, dan sekarang Abdul Muthalib memiliki sepuluh anak laki-laki sebagaimana harapannya dulu.

Untuk itu, Abdul Muthalib harus menepati nazarnya yakni menyembelih satu diantara anak-anaknya. Namun hal tersebut ditentang oleh masyarakat Makkah, selain kasihan kepada Abdullah sebagai anak sulungnya, juga karena mengorbankan anak laki-laki pada masa itu adalah suatu yang belum pernah dilakukan [dengan kata lain, itu adalah suatu penghinaan terhadap anak laki-laki].

Setelah berkonsultasi dengan ahli nujum pada masa itu, maka Abdul Muthalib ingin menggantinya dengan sepuluh ekor unta dengan cara diundi, apakah undian itu sepuluh unta yang keluar atau nama Abdullah. Ternyata yang keluar adalah nama Abdullah.

Karena nama Abdullah yang keluar maka Abdul Muthalib ingin menambahkan sepuluh ekor unta lagi untuk bisa mengulang pengundian. Maka yang diundi kedua ialah 20 ekor unta dengan diri Abdullah. Namun, lagi-lagi nama Abdullah yang keluar.

Hingga hal itu terulang sampai sembilan kali berturut dan nama Abdullah yang terus keluar. Akhirnya Abdul Muthalib menggenapkan untanya menjadi 100 unta untuk diundi dengan nama Abdul Muthalib. Walhasil, tulisan 100 ekor unta lah yang keluar. Artinya, pertaruhan hidup dramatis Abdullah diundi dan ditukar dengan 100 ekor unta atas nadzar Abdul Muthalib.

Makanya, ketika kisah tersebut disampaikan kepada Rasulullah, maka Rasul Muhammad menyebut diri dengan Ibnu Adz-Dzabihaini. Sebagaimana dalam hadis riwayat Al-Imam Hakim, “Saya adalah Ibnu Adz-Dzabihaini [anak dari dua orang yang disembelih—maksudnya Nabi Ismail dan Abdullah].”

Pernikahan dengan Aminah binti Wahab

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa pas kejadian penyembelihan 100 ekor unta tersebut, maka Abdul Muthalib membawa satu unta sembelihan itu kepada Wahab bin Manaf sebagai tanda untuk melamarkan anak Wahab [yang bernama Aminah] dengan Abdullah anaknya. Dan pernikahan keduanya berlangsung setelah satu tahun kemudian dari peristiwa penyembelihan 100 ekor unta tersebut.

Aminah binti Wahab sendiri merupakan wanita terhormat dikalangannya [Bani Zuhrah yang juga bagian dari kelompok Quraisy] sebab ayahnya adalah pemuka kabilah-nya. Sedangkan Abdullah berasal dari Bani Hasyim yang juga dipandang terhormat. Dan jika dilihat dari nasabnya, sebenarnya Aminah dan Abdullah adalah satu bebuyut yakni bertemu pada silsilah Kilab bin Murrah.

Abdullah menikahi Aminah saat Abdullah berusia 24 tahun. Kehidupan keluarga mereka harmonis dan dipenuhi dengan kasih sayang diantara keduanya. Hingga, suatu saat Aminah mengabakan kepada Abdullah bahwa dirinya hamil, hasil dari buah percintaan mereka.

Kematian Abdullah

Namun, sayang, saat masih senang-senangnya mereka membina bahtera rumah tangga dan ditambah pula kesenangan dengan kehamilan Aminah yang sudah memasuki kehamilan 6 bulan, ternyata Abdullah harus menghadap Allah lewat kematiannya saat pulang dari kunjungannya [dari Madinah menuju Makkah] persisinya di daerah Abwa’.

Beliau dikabarkan sakit [ada yang berpendapat sakitnya beliau karena diracun oleh orang Yahudi], namun sakitnya masih belum sembuh tapi Abdullah memaksa untuk pulang. Karena kondisi yang demikian menjadi lantaran kematian Abdullah ditengah perjalanan menuju kampung halamannya.

Artinya, Abdullah wafat dalam usia 25 tahun [usia yang cukup muda] dengan meninggalkan kisah lahirnya Nabi Muhammad dalam kandungan Aminah, yang kelak akan menjadi Rasul pembawa kebenaran dengan ajaran Islam-nya.

Sedangkan warisan yang ditinggalkannya hanya lima ekor unta dan seorang budak wanitanya yang bernama Ummu Aiman. Tidak ada harta yang melimpah yang ditinggalkan Abdullah kepada anaknya kelak. Oleh karenanya, kehidupan Muhammad muda sangatlah sederhana.

Meskipun wafat dalam usia yang masih muda, namun perannya sebagai abun nabiy tidak bisa lepas dari torehan sejarah. Dan Allah memilihnya sebagai tempat penyimpanan dzurriyah Nabi Muhammad dalam benih tulang sulbinya. Oleh karenanya pula, Allah memelihara kehidupan Abdullah dari hal-hal yang buruk dan menjauhkannya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang telah menjadi tradisi kaum Arab Jahiliyah.

Masuk Surga atau Neraka?

Akhir-akhir ini media diramaika dengan status orangtua Nabi Muhammad apakah mereka kelak masuk surga atau masuk neraka? Yang jelas, tidak ada yang tahu tentang hal tersebut, sebab Allah saja lah yang mengetahuinya. Akan tetapi, ingatlah bahwa Abdullah dan Aminah hidup di masa ahlul fatroh yakni masa sebelum turunnya kerasulan [sebab Muhammad diangkat menjadi Rasul saat berusia 40 tahun, sedangkan kedua orang tuanya sudah meninggal semua sebelum beliau diangkat menjadi Rasul]

Dimana dalam salah satu riwayat hadis disebutkan bahwa orang yang hidup sebagai ahlu l fatroh maka ia bisa masuk kedalam surga. Lagi pula selama hidupnya, Abdullah tidak pernah melakukan penyembahan berhala dan terjerumus dalam kemaksiatan-kemaksiatan.

Allahu a’laam bish showaf…

 

Gambar Gravatar
Website Dakwah Muslimah Menerima Tulisan Dakwah Baik Fiksi maupun Non Fiksi  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *